Sunday, December 27, 2009

CERPEN: SALAM PERKENALAN

Malam ini, akhirnya aku sampai di Ponorogo. Seharian aku duduk dan tidur di mobil. Letih rasanya perjalanan dari Jakarta ke daerah ini. Semula aku tak mau ikut perjalanan ini, namun ayah memaksaku. Dia bilang aku sudah lama tidak mengunjungi kakek dan nenek. Benar juga kata ayahku, terakhir aku bertemu kakek dan nenek, usiaku masih sebelas tahun. Sekarang aku telah berumur dua puluh tahun. Sudah sembilan tahun aku tak berjumpa dengan mereka. Seperti apakah kondisi kakek dan nenekku sekarang? Pertanyaan itu yang akhirnya menyeretku untuk ikut pulang ke kampung halaman ayah.

Ayah seharian mengendarai mobil sedan Timor tahun 2000 berwarna abu-abu metalik. Ia tidak mau aku gantikan posisinya. Ia bilang aku belum mahir menyetir mobil dan belum hafal jalan yang harus dilalui. Akhirnya seharian aku berteman dengan jok belakang mobil. Ibu tertidur lelap di samping ayahku.

Pukul 11.00 malam kami sampai di depan rumah kakek. Ada seorang pemuda menghampiri mobil kami. Setelah mobil benar-benar berhenti, ayah keluar dan berjabat tangan dengan pemuda itu. Kulihat wajah pemuda itu seperti aku kenal. Akan tetapi aku tidak benar-benar yakin apakah aku kenal dia. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju bagasi belakang. Setelah semua tas aku keluarkan, aku berusaha untuk membawanya seorang diri. Akan tetapi aku mengalami kesulitan. Kulihat ayah dan ibu telah menuju rumah kakek. Kakek dan nenek ternyata sudah ada di depan pintu rumah. Mereka langsung menyambut ayah dan ibu.

Aku masih berusaha membawa semua tas ini sendirian. Ada tiga tas ransel dan satu koper. Tiga tas ransel berisi pakaian dan satu koper berisi oleh-oleh dari Jakarta untuk kakek dan nenek serta keluarga di sekitar rumah kakek. Sebelum berangkat aku seorang diri yang mengangkat dan memasukkan semua tas ke dalam bagasi. Semua dapat aku lakukan dengan mudah. Namun sekarang terasa berat sekali. Mungkin karena aku terlalu lelah seharian duduk di dalam mobil.

“Kalau nggak bisa bawa semua minta bantuan dong Rei! Kamu itu, sombong sekali ya sekarang. Turun dari mobil bukannya sapa aku malah langsung ke bagasi, huh! Sini, mari aku bantu!”
Pemuda yang tadi menghampiri mobil kami tiba-tiba menegurku. Badan pemuda itu agak tinggi dan tegap, namun tidak setinggi dan setegap aku. Kuperkirakan tingginya 170 cm, berbeda 5 cm denganku. Wajahnya lonjong dan hidungnya mancung. Rambutnya yang belah pinggir tampak rapih. Kulitnya sawo matang, sama seperti aku. Aku berpikir sejenak mengingat siapa sebenarnya pemuda yang ada di dekatku sekarang. Setelah aku berpikir akhirnya aku ingat siapa dia. Dia adalah sepupu jauhku, Ato. Ayahnya adalah anak dari adik Kakekku. Seingatku, dia tinggal di Bandung, tapi kenapa sekarang ia ada di sini?

“Yah, dia malah diem di situ. Rei, kamu tidak ingat saya?”
“Oh iya. Saya ingat, kamu Ato kan? Ya ampun, hampir aja saya lupa. Wah kamu udah jauh berbeda dari dulu ya!”
“Ah, biasa saja. Kamu itu yang sekarang dah berubah. Bongsor sekali kamu! hahaha. Makin ganteng pula. Rambutmu itu makin nggak nahan, botak kayak Fauzi Badillah!”
“Hahaha, bisa aja si Ato! Jadi mau bawain gak? hahaha.”
“Oke oke! Dasar! hahaha.”

Ato membawakan dua tas ranselku. Setelah menutup bagasi mobil, aku dan Ato berjalan menuju rumah kakek yang jaraknya 100 M dari pagar hidup. Sambil berjalan aku bertanya kepadanya tentang mengapa ia bisa ada di sini. Ia menjawab pertanyaanku itu dengan nada yang terdengar amat berat. Namun sambil tersenyum, ia menjawab pertanyaanku bahwa ia telah dua tahun tinggal di rumah kakek semenjak ayah dan ibunya meninggal dunia. Ia kini hanya seorang diri. Kakek, nenek, ayah, dan ibunya semua sudah meninggal dunia. Ia merupakan anak semata wayang dari keluarganya sama seperti aku. Mendengar jawaban itu aku langsung meminta maaf kepadanya. Aku katakan bahwa aku tak bermaksud membuatnya kembali bersedih. Ia memaklumi dan tetap tersenyum hangat padaku.

Setelah sampai di depan pintu rumah, aku meletakkan tas yang kubawa dan aku langsung bersalaman dengan kakek dan nenek. Di usianya yang sudah enam puluh delapan tahun, badan kakek masih terlihat tegap. Rambutnya yang belah pinggir semua sudah berwarna putih. Kulitnya yang keriput sudah tampak terlihat jelas. Kakek mengenakan kaos oblong berwarna putih polos dan memakai sarung bermotif kotak-kotak berwarna merah dan hitam. Nenek juga masih kelihatan tegap. Usia nenek delapan tahun lebih muda dari usia kakek. Rambut nenek juga sudah mulai putih tetapi masih terlihat warna hitam diantara warna putih itu. Nenek mengenakan baju kebaya biru dan kain sebagai bawahannya.

Kakek dan nenek terkejut melihatku. Kakek bilang dulu aku masih kecil, sekarang sudah sebesar ini. Kakek juga bilang aku gagah. Sedangkan nenek bilang aku itu sekarang ganteng dan manis. Pujian-pujian itu membuat rasa lelahku terobati. Setelah puas berbincang-bincang melepas rindu sejenak antara keluargaku dengan kakek dan nenek, kakek menyuruh kami untuk beristirahat. Kakek menunjukkan kamar ayah dan ibu di samping kamarnya. Sedangkan untukku, kakek menunjuk kamar yang paling pojok belakang dari rumah yang luas ini. Kakek bilang, aku bisa tidur berdua dengan Ato di kamar itu.

Sekarang sudah pukul 01.00 dini hari. Entah kenapa lelah ditubuhku kini tak lagi sehebat tadi. Aku tak bisa memejamkan mataku. Aku tak bisa tidur. Mungkin karena suasana kamar Ato yang masih asing dan aku belum terbiasa tidur di ruangan selain kamarku. Aku dan Ato tidur di diatas sebuah kasur yang agak besar. Kasur terbuat dari kapuk dan berselimut kain batik. Kulihat ke samping kananku. Ato sudah tertidur pulas.

Tiba-tiba aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Aku berniat membangunkan Ato, tetapi aku mengurungkan niatku itu. Aku tidak enak membangunkan Ato yang sudah tidur pulas. Akhirnya aku bangun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Aku ingin mencari kamar kecil seorang diri. Tadi sebelum masuk kamar Ato untuk tidur, kakek memberitahukan aku di mana letak toilet. Toilet terletak di luar rumah, tepatnya di belakang rumah. Berbekal dari informasi itu, aku segera menuju toilet di belakang rumah. Aku berjalan melalui pintu belakang rumah. Setelah ada di luar, aku segera berjalan ke toilet. Jaraknya kira-kira sepuluh meter dari pintu belakang rumah.

Aku tertegun melihat toilet di depanku. Toilet itu tak berpintu, hanya menggunakan kayu triplek sebagai penghalang atau penutup penglihatan dari luar. Triplek itu diangkat atau digeser apabila ingin membuka atau menutupnya. Toilet itu juga tak beratap. Bangunan yang digunakan untuk mandi, cuci dan kakus itu hanya terbuat dari semen yang dijadikan tembok. Tembok itu kira-kira mempunyai tinggi dua meter. Toilet itu hanya diterangi oleh sebuah lampu semprong. Sehingga cahaya yang menerangi ruangan itu tak begitu terang dan terlihat remang-remang. Di dalam toilet berukuran 4 x 3 itu kulihat ada sebuah sumur yang sudah sangat tua, WC (Water Closet) yang terbuat dari semen dan sebuah bak mandi yang juga dibuat dari semen.

Melihat toilet yang seperti itu bulu kudukku langsung berdiri. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Seram sekali toilet rumah kakek. Namun rasa kebelet buang air kecil ini mengalahkan rasa takutku dan tidak memedulikan semua perasaan tidak enak. Aku bergegas masuk ke dalam toilet. Kuangkat triplek yang menjadi pintu toilet, setelah itu kupakai triplek itu untuk menutup toilet. Kemudian, srrrr…

Setelah aku buang air kecil aku hendak kembali ke dalam rumah. Namun tiba-tiba saja aku mendengar suara tabuhan gendang yang sangat menarik. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke balakang, tapi tak aku temukan sumber dari bunyi tersebut. Lalu aku mencoba untuk mempertajam pendengaran, ternyata bunyi tersebut berasal dari belakang toilet.
Rasa penasaran membuat aku berani mencari sumber suara itu. Aku berjalan ke belakang toilet. Kulihat di sana ada lapangan yang luas. Lapangan itu seperti lapangan sepak bola tetapi tidak mempunyai gawang. Lapangan itu sangat luas.

Ada suatu keanehan yang kurasakan pada saat itu. Seingatku sekarang sudah tengah malam, tetapi di lapangan ini cahayanya sangat terang. Kuperhatikan sekitarku berusaha mencari sumber cahaya ini. Tapi aku tak menemukan jawaban dari pertanyaanku. Aku terpaku keheranan.

Saat aku masih sibuk berpikir tiba-tiba saja di lapangan muncul sesosok makhluk tinggi besar. Kepalanya jauh lebih besar daripada badannya. Aku sangat terkejut. Kepala makhluk itu menyerupai singa, namun lebih seram. Taringnya panjang mencuat keluar dari mulutnya. Badannya menyerupai badan manusia. Mengenakan pakaian bergaris vertikal berwarna putih merah. Celananya berwarna hitam dan makhluk tersebut tidak mengenakan alas kaki.

Aku sangat ketakutan melihat makhluk itu. Aku tidak bisa bergerak sama sekali dari tempatku berdiri sekarang. Terpaku begitu saja di pinggir lapangan. Makhluk itu melihat ke arahku. Sorot matanya yang tajam begitu menyeramkan. Kedua kakiku dibuatnya bergetar.

Namun setelah ia menatapku, ia tidak mendekatiku. Ia malah melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Berlari-lari ke sana ke mari tak tentu arah. Sesekali ia melompat dan salto. Setelah aku perhatikan, ternyata gerakan-gerakannya yang aneh itu seirama dengan bunyi tabuhan gendang yang sedari tadi terngiang-ngiang di telingaku.
Rasa takutku perlahan-lahan hilang. Aku menjadi terbiasa dengan makhluk itu. Gerakan-gerakan yang dilakukannya sangat indah. Baru pertama kali aku melihat gerakan yang seperti itu.

Lama sudah aku menyaksikan aksinya. Hingga pada suatu ketika tabuhan gendang itu berhenti tiba-tiba. Makhluk itu juga berhenti melakukan aksinya. Kini ia kembali menatapku. Pandangannya yang tajam kembali membuatku takut. Air liurnya menetes dari mulutnya nafasnya seperti nafas singa yang ingin meburu mangsanya. Aku tersadar bahwa ekspresinya sekarang adalah ekspresi binatang yang sedang lapar. Berpikir tentang itu aku semakin ketakutan.

Ia mendekat kepadaku. Mendekat. Terus mendekat. Hingga jaraknya hanya satu meter di depanku. Wajahnya yang seram kini ada di depan wajahku. Aku masih saja tak bisa bergerak. Ia pasti akan menyerangku. Aku berusaha keras untuk bergerak. Namun tetap tidak bisa. Aku mencoba berteriak, juga tidak bisa. Apa yang harus kulakukan sekarang. Tuhan, apakah aku harus mati hari ini?

Badanku gemetar. Keringat dingin mengucur deras dari setiap pori-pori kulit ini. Makhluk itu masih di depanku. Pikiranku kacau balau. Aku tak dapat lagi berpikir jernih. Semua usaha untuk berteriak dan bergerak telah aku lakukan. Tetapi hasilnya nihil. Aku masih tetap terdiam. Pandanganku tiba-tiba mulai kabur. Kepalaku pusing. Dan tiba-tiba saja aku tak sadarkan diri.
Mati. Aku telah mati.
***

Semula aku berpikiran seperti itu. Tetapi guncangan hebat pada badanku menolong aku dari ketidak-sadaranku. Aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.
“Rei! Bangun Rei! Rei! Sudah pagi. Ayo bangun!”

Kubuka mataku. Kulihat ada Ato di depanku. Aku berkesimpulan bahwa ternyata semalam aku hanya bermimpi. Namun itu hanya kesimpulan sementara. Setelah aku perhatikan sekitar, ternyata aku sedang tergeletak di area pemakaman.

“Hah! Kuburan? Di mana ini Ato?”
“Ini di belakang rumah Kakek. Memangnya kamu belum tahu ya kalau belakang rumah kakek itu tempat pemakaman?”
“Tidak aku tidak tahu. Kenapa aku bisa ada di sini ya? Seingatku semalam aku berada di sebuah lapangan.”
“Hahaha. Kamu pasti semalam bertemu dengan makhluk aneh berkepala singa berbadan manusia ya? hahaha.”
“Hah! Kok kamu tahu? Berarti semalam aku tidak bermimpi ya? Kenapa kamu tertawa?”
“Kamu pasti pingsan karena ketakutankan? Tenang saja Rei. Makhluk itu tidak berbahaya. Dia hanya memberikan salam perkenalan padamu. Memangnya kamu tidak tahu ya itu makhluk apa?”
“Tidak. Aku tidak tahu.”
“Huh! Payah sekali kamu itu. Dasar orang kota! hahaha. Makhluk itu adalah Reog. Reog itu salah satu kesenian khas dari daerah ini, Ponorogo. Wajahnya yang seperti singa itu hanya topeng saja. Dan yang semalam kamu temui itu adalah hantu dari Warok Jolego. Warok adalah sebutan bagi orang yang membawakan Reog. Warok Jolego itu dahulu adalah salah satu orang terpandang yang membesarkan kesenian Reog di daerah Ponorogo. Ia mati pada saat mementaskan Reog. Aku dulu waktu pertama kali pindah ke sini juga mengalami hal yang sama sepertimu. Jadi aku sudah terbiasa akan hal ini. Nah sekarang coba kamu lihat tempat yang kamu tiduri sekarang.”

Mendengar penjelasan dari Ato aku segera paham tentang apa yang menimpa aku semalam. Lalu aku mendengarkan perintah terakhir Ato. Aku bangun dari tempatku tergelatak dan melihat sesuatu yang amat mengejutkanku.

Ternyata semalaman aku tertidur di atas sebuah kuburan. Kuburan dengan nisan bertuliskan “Jolego Bin Suryoprawoto”.

No comments:

Post a Comment