Sunday, December 27, 2009

CERPEN: KISAH TRAGIS KELUARGA ANGKUH

Seorang diri duduk di bawah pohon besar yang rindang. Pohon beringin tua yang dipayungi cahaya indah bulan purnama. Aku duduk di atas akar pohon yang memberontak kepada tanah. Bagian akar itu timbul di permukaan tanah dan tanpa disengaja menjadi tempat yang nyaman untuk diduduki. Aku duduk bersila sambil menghisap sebatang rokok. Rokok yang telah aku siapkan sebelum aku datang ke tempat yang sunyi ini.

Tak pernah terpikirkan olehku untuk datang dan berdiam diri di kebun seluas ini. Kebun yang berisi puluhan bahkan ratusan pohon besar. Kebun yang sudah tak terawat sejak zaman penjajahan Belanda berakhir. Tak jauh dari tempatku berdiam diri sekarang terdapat sebuah rumah kosong besar yang tak berpagar. Bangunan tua yang megah itu berlantai dua dan bercat tembok warna putih yang sudah tak tampak lagi kecerahannya. Lumut dan retakan pada tembok hampir mendominasi seluruh bangunan. Jendela-jendela sudah tak mempunyai kaca yang utuh. Kaca pada jendela-jendela itu terkesan hancur pada masanya dahulu karena tindak kekerasan. Pintu rumah itu pun sudah hancur dan tidur di lantai berpuluh-puluh tahun lamanya. Di bagian depan rumah terdapat anak tangga menuju pintu masuk rumah itu. Genting bangunan itu juga sudah banyak yang hancur dan berlubang. Banyak penduduk sekitar yang berkata bahwa rumah itu adalah rumah peninggalan satu keluarga pejabat Belanda yang angkuh dan sangat dibenci oleh warga pribumi. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri, satu anak gadis dan satu bocah laki-laki.

Pada suatu saat warga pribumi tak mampu lagi menahan amarah karena sifat angkuh keluarga itu. Lalu mereka beramai-ramai menyerbu rumah orang Belanda itu. Mereka membuka paksa pintu dengan cara mendobrak, melempari kaca dengan batu, dan menghancurkan semua perabotan yang ada di dalam rumah. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka membunuh semua penghuni rumah. Sungguh sangat tragis nasib keluarga itu.

Malam semakn larut. Bulan purnama semakin terang menyinari bumi. Angin bertiup kencang, membuat pohon-pohon besar bergemuruh seakan para raksasa yang sedang bergumam. Dingin membuat badanku tersiksa. Gangguan nyamuk-nyamuk kebun yang lapar menambah siksaan di badanku ini. Suara burung hantu sesekali terdengar. Malam kian mencekam. Tanpa kusadari kepalaku terasa berat. Bulu kudukku berdiri.

Semula aku berpikir bahwa yang aku rasakan hanyalah pertanda aku ingin buang air kecil. Aku berdiri dari tempatku duduk dan mematikan rokok. Aku berjalan menuju balik pohon, kemudian aku buang air kecil di balik pohon beringin tua itu.

Setelah selesai buang air kecil, aku kembali duduk di atas akar yang tadi aku duduki. Lega rasanya badanku ini. Tapi aku merasa sangat aneh. Berat di kepala dan bulu kuduk yang berdiri ternyata tak juga reda. Malah semakin menjadi-jadi. Kepalaku ini rasanya seperti ada yang mencengkram. Badanku merinding.

Aku melihat jam tanganku. Sekarang sudah pukul 01.25 pagi. Sudah hampir satu jam aku merasakan keanehan ini. Kulempar pandangan ke sekeliling. Aku mencari-cari penyebab terjadinya tanda yang diberikan oleh badanku ini.

Aku terus melihat ke sana-sini. Pandanganku terhenti pada satu titik di balkon lantai dua rumah tua yang tak jauh dari tempatku duduk. Pada titik itu aku terpaku. Aku seperti melihat sosok dua orang yang sedang bergandengan tangan menatap ke arahku. Kedua sosok itu kulihat sudah agak tua. Mereka laki-laki dan wanita berambut pirang. Mereka terus menatapku. Aku berpikir sejenak. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa kedua orang tua itu? Lalu rasa penasaranku membuatku mengabaikan pertanda-pertanda yang tadi diberikan oleh tubuhku. Aku bangkit dari tempat dudukku dan aku berjalan menuju rumah tua itu. Pandanganku tak lepas dari balkon lantai dua tempat mereka berada. Namun, aku merasa sangat aneh. Semakin lama aku mendekat, tubuh mereka semakin buram.

Aku terus mendekat. Lama-lama aku melihat tubuh mereka semakin transparan. Sampai akhirnya hilang begitu saja.

Aku menghentikan langkahku seketika karena melihat mereka meghilang dari pandanganku. Aku bingung akan apa yang aku lihat barusan. Siapa mereka? Sedang apa mereka di sana? Kenapa mereka bisa menghilang? Menghilang? Oh tidak! Aku baru saja tersadar akan kebodohanku. Makhluk yang bisa menghilang seperti itu hanyalah hantu. Aku baru saja melihat hantu!

Terjawab sudah semua pertanda-pertanda yang diberikan oleh tubuhku. Aku masih terpaku berdiri di tempat tadi aku berhenti melihat kedua hantu itu menghilang. Kakiku lemas sekali rasanya. Dengan langkah yang gontai aku kembali menuju tempat semula di mana aku duduk.

Aku masih memikirkan kedua hantu itu. Kenapa mereka menampakkan diri di hadapanku? Aku terus memikirkan tentang hal itu. Karena lelah berpikir, akhirnya tanpa sadar aku melamun.

Dalam lamunanku, aku seakan-akan melihat sebuah tayangan seperti film di televisi. Aku tak tahu bayangan itu muncul dari mana. Bayangan itu muncul begitu saja. Dalam bayangan itu aku melihat ada seorang gadis cantik berkulit putih berambut pirang dan anak laki-laki berkulit putih berambut kecoklatan sedang bermain-main di kebun. Gadis itu mengenakan pakaian terusan berwarna putih hingga ke lutut. Sandal yang digunakannya juga berwarna putih. Sedangkan anak laki-laki itu memakai baju hitam dan celana pendek putih. Aku menebak bahwa mereka adalah adik kakak. Mereka sedang bermain petak umpet. Si adik sedang mendapat giliran jaga dan si kakak sedang mencari tempat bersembunyi.

Ketika mencari tempat persembunyian di dekat rumahnya, gadis itu terkejut melihat rumahnya sedang diserbu dan diporak-poranda oleh banyak orang. Ia juga melihat kedua orang tuanya diseret paksa keluar rumah oleh orang-orang itu. Ia melihat kedua orang tua mereka dipukuli dan disiksa. Tak tahan melihat itu, ia berlari ke depan rumah tempat orang tuanya disiksa dengan maksud menolong mereka. Akan tetapi ia tidak menyangka, ada empat orang pria yang mencegahnya. Empat orang pria itu lalu menyergap dan membawa gadis itu ke kebun. Di dalam kebun empat pria tesebut mencari tempat bersemak. Setelah mereka mendapatkan tempat itu, si gadis lalu diperkosa secara bergiliran. Gadis itu berteriak-teriak, menangis, dan meronta-ronta minta tolong, tetapi tidak ada yang menolongnya. Setelah empat pria itu puas, salah satu dari mereka mencekik gadis cantik itu hingga mati.

Adiknya yang ternyata sejak tadi melihat kakaknya diperkosa, hanya diam terpaku. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ketakutan. Lalu ia bermaksud pergi ke rumah. Namun sebelum sampai di rumah, dari kejauhan ia melihat kedua orang tuanya sudah babak belur. Lalu ia melihat mereka disiram dengan air dan salah satu dari orang-orang yang berkumpul di sana menyalakan korek api dan melemparkannnya ke tubuh kedua orang tuanya. Dalam seketika tubuh kedua orang tuanya diselimuti oleh api yang berkobar-kobar. Ia baru sadar bahwa tadi yang disiramkan ke badan orang tuanya adalah minyak tanah.

Melihat kejadian itu, ia takut bukan kepalang. Ia lalu berlari dari tempat itu. Tak tahu ke mana harus melangkah. Yang ia tahu hanya berlari. Berlari. Dan terus belari. Hingga pada persimpangan jalan raya larinya terhenti. Ia tewas tertabrak mobil yang sedang melaju dengan kencang. Tubuhnya hancur berantakan.

Aku gemetar ketakutan melihat kejadian itu. Karena ketakutanku yang melahap badanku, akhirnya aku tersadar dari lamunanku. Ya ampun, apakah yang baru saja aku lamunkan? Peristiwa apa itu? Sadis. Sambil bertanya-tanya di dalam hati, aku edarkan pandanganku ke sekeliling. Sepi. Di sekitarku masih sepi. Sangat berbeda dengan yang aku lamunkan tadi, ramai dengan orang-orang sadis. Apakah itu hanya halusinasiku saja. Ah, tapi lamunanku itu terasa sungguh nyata.

Aku masih berjibaku dengan pikiran. Tiba-tiba dari belakangku terdengar suara halus namun agak merintih. Suara itu terasa amat dekat dengan telingaku. Melantun dengan berat.

“Bung…apakah kau lihat adikku?”

Aku terkejut bukan main mendengar suara itu. Apalagi setelah mencerna kata-katanya. Aku langsung berdiri, lalu menghadap belakang.

“Haaaaaaa…..!!!”, aku berteriak sejadi-jadinya. Aku sangat ketakutan melihat makhluk yang ada di depanku sekarang. Makhluk itu berjarak sekitar empat meter dariku. Makhluk itu adalah seorang gadis bergaun putih compang-camping ada di hadapanku. Rambut pirangnya panjang terurai. Panjangnya hingga menyentuh tanah. Wajahnya sangat pucat. Matanya berwana putih merata, tidak terlihat adanya bola mata. Lidah gadis itu menjulur panjang keluar hingga hingga sepinggang. Dan tubuh gadis itu seperti melayang. Kakinya tidak menapak di tanah.

Aku terus berteriak sekencang-kencangnya. Namun tak ada satu pun orang yang datang menolongko. Gadis itu terus menatapku dengan tatapan tajam, seolah ingin melahapku. Dia terus bertanya dengan suara yang gontai, di mana adiknya. Namun aku tak mempedulikannya. Aku sangat ketakutan. Sampai-sampai aku terjatuh, tak bisa beranjak sedikitpun dari tempat itu.

Aku terus ketakutan. Gadis itu mendekatiku. Terus mendekat hingga kini hanya berjarak satu meter dari hadapanku. Aku semakin ketakutan. Hinga pada akhirnya aku mengingat suatu pesan dari seseorang yang disampaikan padaku sebelum aku ada di tempat ini. Hanya perintah dalam pesan itulah satu-satunya harapanku sekarang. Aku lalu melakukan perintah itu.

“Mas tolong Mas! Mas…nyerah Mas! Massssss!!!”, aku berteriak sekencang-kencangnya dan melambaikan tanganku pada kamera yang ada tak jauh dari tempatku sekarang. Kamera itu dipasang di tangga depan rumah kosong itu.

Aku terus melambaikan tanganku. Gadis itu terus menatapku dengan tajam. Bahkan lebih tajam. Ia mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Kini jarak wajahnya dengan wajahku hanya tiga puluh sentimeter. Aku semakin berteriak-teriak dengan kencang. Sampai akhirnya aku menengar suara langkah kaki orang oranng yang berlari kje tempatku. Aku lihat ke arah orang-orang itu. Aku lihat orang berbaju hitam dengan kepala yang botak berlari paling depan.

Ketika aku palingkan lagi wajahku ke depan, ke arah gadis seram itu tadi berada, ternyata ia sudah menghilang. Aku menghembuskan nafas panjang dengan lega. Akhirnya aku selamat. Aku lalu tersenyum kecut sebelum merasakan kepalaku tiba-tiba menjadi berat. Sangat berat. Hingga membuat mataku terpejam dan kesadaranku menghilang.

Sesaat sebelum mataku terpejam, aku melihat ada tangan kecil meraba kepalaku. Dari bagian rambut, hingga ke wajahku. Tangan buntung.

No comments:

Post a Comment