Sunday, December 27, 2009

CERPEN: AKU PACARAN DENGAN HANTU

Lelah begitu menyiksaku malam ini. Seharian aku bekerja. Duduk dan terus berteman dengan radiasi monitor komputer di kantor. Kantor milik perusahaan swasta yang ada di dalam gedung Bidakara, Pancoran. Sekarang saat seharusnya aku pulang, aku malah harus membelikan buku untuk Nia, adikku. Tadi sore adik kesayanganku itu menelepon dan memintaku untuk membelikan buku latihan mengerjakan soal-soal Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA) di toko buku Gaharmedia yang searah dengan rumahku. Toko itu berada di kawasan Pasar Minggu sedangkan rumahku terletak di kawasan Jagakarsa.

Aku selalu mengendarai sepeda motor matic-ku saat pergi bekerja maupun pergi ke tempat lain. Hanya sepeda motor matic yang cocok untuk wanita dengan tinggi 160 cm dan berat 49 kg ini. Aku memiliki badan yang tidak gemuk namun tidak terlalu kurus juga.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Aku masih sibuk mencari buku latihan mengerjakan soal-soal UN yang paling bagus untuk Nia. Bagian buku soal-soal UN berada di lantai dua pojok paling kanan. Kumpulan buku soal itu tidak dipajang di rak seperti buku-buku yang lainnya. Kumpulan buku yang sekarang sedang banyak dicari anak-anak kelas 3 SMA itu dipajang di atas sebuah benda seperti meja yang memiliki ukuran cukup besar. Dikatakan meja tapi benda itu tak memiliki kaki. Lebih mirip dengan level dalam panggung tepatnya. Ukuran benda itu kira-kira 2 x 4 meter. Benda itu berwarna krem. Di atas benda tersebut dipajang buku soal UN yang sangat banyak.

Di pojok itu aku masih sibuk mencari. Hingga tak terasa waktu pada jam tanganku sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku perhatikan sekelilingku. Lantai dua toko buku itu sekarang sudah agak sepi. Kuperkirakan dalam ruangan itu hanya ada sepuluh orang. Di pojok bagian buku-buku soal UN itu, kini hanya aku sendiri. Aku masih tetap mencari buku yang bagus.

Akhirnya aku menemukan buku yang kurasa bagus. Kuteliti dahulu dan kubaca sedikit sebelum membeli. Saat aku sibuk membaca, tiba-tiba saja saat itu aku merasakan ada keanehan. Hawa dingin merasuk. Bulu kudukku berdiri seketika. Kupehatikan kembali ke sekelilingku. Tidak ada apa-apa. Pengunjung toko buku ini kini bertambah banyak. Sekarang ada sekitar dua puluh orang. Aku berpikir mungkin hawa dingin yang kurasakan hanyalah AC ruangan yang dibesarkan oleh pegawai toko buku ini.

Ketika aku mulai terbiasa dengan hawa dingin ini, tiba-tiba saja aku merasakan keanehan yang lain. Aku merasakan hawa dingin tadi berubah menjadi hawa yang agak panas. Bulu kudukku semakin berdiri tegak.

Saat kutengok ke depan dan ke kanan, tak kutemukan adanya sesuatu di dekatku. Namun ketika aku menengok ke kiri, aku melihat sesuatu yang sangat mengejutkanku. Buku yang sedang kupegang seketika terjatuh.

Aku melihat sesosok lelaki yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri sekarang sedang menatapku. Kira-kira jarak antara aku dan dia hanya tiga meter. Jarak sedekat itu membuatku melihat tubuh dan wajahnya dengan jelas.

Kuperhatikan dia dengan seksama. Lelaki itu mempunyai tinggi badan yang sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi namun tidak pendek. Kutaksir tingginya kira-kira 172 cm. Ia mengenakan celana jins hitam dan kaos lengan panjang bergaris berwarna hitam dan abu-abu. Dari tangannya aku bisa melihat warna kulitnya yang sawo matang. Rambutnya pendek dan ditata denngan gaya rambut spike.

Saat kulihat wajahnya lelaki itu ternyata menatapku. Sorot matanya sangat tajam. Jantungku berdegup kencang dibuatnya. Matanya tidak belo tetapi tidak sipit juga. Ia mempunyai tahi lalat diantara kedua alisnya. Hidungnya mancung, namun bukan mancung karena ia keturunan orang luar negri. Ia asli orang Indonesia. Bibir atasnya tipis dan bibir bawahnya agak tebal.

Setelah jelas kuperhatikan, ternyata wajah lelaki itu sangat pucat. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi yang datar. Tetapi itu semua tidak membuat ia kehilangan ketampanannya. Aku terpana menatapnya.

Sadar melihatku terpana menatap dirinya, ia mendekatiku hingga jarak antara kami hanya satu meter saja. Lalu ia menunduk dan mengambilkan buku yang tadi terjatuh dari genggamanku.

Setelah mengambil buku itu, ia menyodorkannya ke arahku sambil tersenyum dan berkata,
“Kenapa dijatuhin bukunya, Ay?”
Aku tersadar dari keterpanaanku karena mendengarnya menyebut nama panggilanku. Namaku Nurul Badriah. Orang-orang biasa memanggilku Aya. Aku tak tahu dari mana ia bisa tahu kalau namaku Aya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah aku mengenalnya dan ia mengenalku?
“Aya, kok diem aja? Kamu benar Aya kan?”
“Eh, iya benar. Iya aku Aya. Kamu kenal aku? Kita kenal di mana ya?”
“Hm, rupanya kamu lupa sama aku ya? Aku Ato. Teman kamu waktu kecil dulu. Masa tidak ingat…”

Aku berpikir sejenak mengingat apakah dulu aku punya teman yang bernama Ato. Akhirnya aku ingat. Dulu rumah kami bersebelahan. Ia sering bermain ke rumahku. Kami teman akrab dulu. Dulu ia seorang anak laki-laki berkulit hitam. Kulitnya hitam karena ia sering bermain layang-layang dan sepak bola. Badannya dekil bukan main. Kurus dan seolah tidak terawat. Badannya juga seringkali mengeluarkan bau, karena ia terlalu aktif dan mudah sekali berkeringat. Hidungnya tidak mancung. Rambutnya selalu berantakan.

Terakhir kali aku melihat dia, ketika menangis merengek-rengek kepada bapaknya pada hari saat ia dan keluarganya hendak pindah rumah. Ia meminta agar tidak pindah rumah, namun tangisan dan rengekannya sia-sia. Keluarganya tetap pindah. Saat itu ia berusia delapan tahun. Aku hanya berbeda satu tahun darinya. Aku berumur tujuh tahun. Ia dan keluarganya pindah ke Bandung.Rata Penuh

Dia kembali menyodorkan buku yang hendak aku beli tadi. Dan aku pun mengambilnya. Lalu aku bilang kepadanya kalau aku ingat dia. Kemudian dia menyodorkan tangannya mengajak aku bersalaman. Aku menyambut sodoran tangannya itu. Ada hal yang aneh ketika aku menjabat tangannya. Tangannya terasa dingin.

Kami berdua berbincang-bincang. Ternyata ia kembali ke Jakarta karena sekarang ia bekerja di sini. Ia bekerja di kawasan kuningan sebagai editor di salah satu perusahaan milik pemerintah.

Agak lama aku berbincang dengannya. Aku perhatikan sekitar. Aku melihat orang-orang menatap ke arahku. Rasa curiga mulai berkumpul di benakku karena pandangan orang-orang itu. Aneh rasanya.

Aku teringat akan keanehan yang tadi juga aku alami. Keanehan wajah Ato yang sangat pucat. Juga keanehan tangannya yang dingin.

Teringat aku akan satu film horor. Dalam film itu setan menyamar jadi manusia dan berjabat tangan dengan orang lain. Kemudian orang itu melihat wajah orang yang mengajaknya berjabat tangan sangat pucat dan tangannya sangat dingin. Terakhir ia mengetahui bahwa orang itu ternyata adalah hantu.

Curiga akan hal seperti itu, aku mulai membatasi diriku dengan Ato. Jantungku semakin berdegup kencang. Keringatku keluar dari kulitku. Aku takut.

Takut sekali.

Melihat aku seperti itu Ato menyadari sesuatu. Ia lalu memohon diri padaku dan memintaku agar tidak pergi ke mana-mana. Ia pergi ke suatu tempat.. Aku seolah tersihir oleh permintaannya. Kakiku tak dapat bergerak sedikitpun. Aku semakin ketakutan. Aku juga tak dapat berteriak meminta pertolongan. Mulutku membisu tiba-tiba. Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini dari gangguan setan yang terkutuk.

Setelah kira-kira lima belas menit Ato kembali ke tempat aku sekarang berada. Dia heran melihatku berkeringat. Dia juga heran melihat wajahku pucat.

Kusadari ada yang berbeda sekarang. Wajah Ato tak lagi pucat. Aku masih saja ketakutan. Saat itu Ato lalu memegang keningku dan bertanya apakah aku sakit. Saat tangannya menyentuh keningku aku merasakan tangannya tak lagi dingin. Sentuhan tangan itu hangat dan sentuhan itu pun yang membuat aku bisa berbicara kembali.

Aku bertanya keepadanya kenapa tadi ia sangat pucat dan tangannya dingin. Aku juga bercerita kepadanya bahwa aku takut kepadanya. Ia tertawa terbahak-bahak. Ia menceritakan bahwa tadi ia sedang berjuang menahan rasa mules karena ingin buang air besar. Saat ia ingin ke toilet ia melihatku. Lalu ia memilih untuk bertemu dan menyapa diriku. Ia bilang, ia takut kalau ke toilet dahulu, aku sudah pergi ketika ia keluar toilet. Oleh karena itu, ia mendahulukan aku dibandingkan rasa mulesnya itu.

Mendengarkan cerita itu, aku jadi sangat malu dan setelah itu aku ikut tertawa. Betapa bodohnya diriku ini. Kami berdua kembali berbincang hingga akhirnya ia meminta nomor hand phone (Hp)-ku. Setelah itu kami pun berpisah di dekat kasir. Aku membayar buku yang hendak kubeli di kasir sedangkan Ato berjalan menuju tangga jalan. Aku kembali memperhatikan sekitar. Orang-orang yang tadi melihat ke arahku kini melihat ke arah Ato.

Sekarang aku baru sadar, ternyata orang-orang yang melihatku tadi hanyalah kaum perempuan saja. Sepertinya mereka terkagum-kagum melihat ketampanan Ato. Rupanya kejadian tadi itu hanya rasa ketakutanku yag berlebihan. Setelah selesai membayar aku pulang.

Dua tahun kemudian Ato melamarku. Aku merasa terkejut, tetapi aku sangat senang. Aku pun menerima lamarannya. Aku menerima lamarannya karena semenjak pertemuan kembali aku dan Ato di toko buku itu, ia selalu memperhatikanku. Ia sering menelponku dan mengajakku bertemu. Kami berdua juga sering bepergian bersama. Kami selalu bersama-sama hingga rasa cinta tumbuh menyatu. Dan akhirnya ia melamarku. Aku perempuan berwajah cantik, berkulit putih dan rambut hitam bergelombang ini menikah dengan pria gagah yang tampan. Ah…sungguh manis sekali rasanya bila dibayangkan. Selain itu juga sungguh sangat lucu. Pacaran dengan orang yang awalnya kukira hantu.

No comments:

Post a Comment