Sunday, December 27, 2009

ANTROPOFAGI

SURGA DI LANGIT PALING UJUNG

Berbagai macam bentuk hidung
Berdiri mematung
Di tengah lapangan yang memasung
Akar dengan batang pohon yang tinggi melambung
Di bawah langit yang mendung
Menyegarkan para pejuang yang sedang berkabung
Seolah tiada kebahagiaan yang mengurung
Tanah dan air mata mulai bergabung
Dari berjuta mata yang sedang merenung
Mengingat jasa-jasa pemimpin yang mereka gandrung
Pemimpin yang kini terbang bebas bagai burung
Menuju surga di langit paling ujung




Jakarta, 15 Oktober 2008


TUHAN

Tuhan
Di saat ku tertawa
Aku melupakan-Mu

Tuhan
Di saat ku terlelap
Aku melupakan-Mu

Tuhan
Di saat ku melambung
Aku selalu melupakan-Mu

Tuhan
Di saat aku menangis
Aku masih tetap saja melupakan-Mu

Tuhan…
Di akhir masaku ini
Aku bersujud kepada-Mu dengan segala kesadaranku
Memohon dengan sungguh kepada-Mu
Memohon pengampunan-Mu
Memohon apa yang tak seharusnya ku mohon
Karena ku tahu
Aku terlalu hina di hadapan-Mu

Jakarta, 18 Oktober 2007


TERBANG MENGHILANG

Kurasa gerah
Dalam sebuah ruangan
Terlena dalam raungan
Awal berrjumpa makna
Pencarian jati diri
Menembus arti hakiki
Melompati nilai-nilai duniawi
Waktu yang tepat tak jua datang
Dicengkram elang terbang menghilang

Depok, 10-11-09


SI NYAMUK BANGSAT!!!

Drakula!!!
Mengapa kau bisa terbang?
Terbang ke sana kemari
Kepakkan sayapmu membuat gendang telingaku
tak henti-hentinya merintih
Mengapa kau terbang dekat dengan kupingku?

Memangnya, apa salahku?
Hingga kau jadikan aku korban kelaparanmu
Darahku kau hisap
Perih, pedih, sakit yang kurasakan
Kau sungguh beruntung bisa meminum darahku
Aku sendiri tak pernah meminum darahku
Apalagi darah orang lain
Karena dalam kehidupanku
aku sangat takut darah
Bahkan dalam kehidupanku ini
aku sama sekali tak pernah mendonorkan darahku
Aku sangat takut jika darahku diambil

Tapi kenapa???
Kenapa dengan mudahnya kau meminum darahku
dengan taringmu yang hanya satu itu?
Kau minum darahku dengan nafsu penuh seluruh
Hingga membuat perutmu buncit
Kau terhanyut dalam hasratmu
Sehingga tak memperhatikan perutmu yang hampir
meledak karena kelebihan muatan
Tubuh kecilmu itupun menjadi lebih besar

Kini kau sangat kekenyangan
Kau sudah tak lincah lagi
Kau hanya bisa terbang rendah
Serendah derajat dan martabatmu itu
Tiba saatnya aku membalas dendam padamu

Kuikuti kemanapun kau pergi
Kusiagakan kedua mataku untuk terus merekammu
Kuperintah tubuhku agar mendekatimu dengan perlahan
dan hati-hati agar dapat meredam bunyi yang mungkin
bisa dihasilkan gerakanku ini
Ku program kedua tanganku untuk menjadikanmu
target yang terkunci




Dan ketika aku telah siap, kau pun tengah lengah
Kupertemukan kedua telapak tanganku
Kulayangkan dengan kecepatan kilat
Kujadikan kau titik tengah dari telapak tanganku
Setelah kedua tanganku telah puas berseteru
Maka kubuka mereka
Dan segera kulihat kedua telapak tanganku
Dengan rasa puas karena dendam yang terbalaskan
Aku pun langsung berkata dengan congkak,
“Pergilah ke neraka nyamuk bangsat!!!”


Jakarta, 9 Desember 2008


SEMANGAT

Terlelap di atas persegi panjang
Bermimpi tentang segitiga
Terombang-ambing dalam ketidak pastian lingkaran
Hingga membuatku goyah bagai jajar genjang
Namun, kucoba tegar bagai bagai trapesium
Berusaha menyatukan asa akan masa depan
Hingga mejadi persegi

Jakarta, 25 Desember 2009


SANG PEMIMPIN SEGALA

Beri kehangatan pada logika
Hingga dunia tertawa bahagia
Menyambutku sang pemimpin segala
Dari bumi hingga ke surga

Depok, 2 November 2009


MONYET!

Berat rasa kepalaku malam ini
Terungkap suatu tabir misteri
Monyet-monyet berceloteh di atas dahan pohon
Bersenandung beberapa di antara mereka
Sesekali mereka turun untuk mencari makan
Tak tahan akan rasa lapar dan dahaga
perut terobati mereka kembali

Mentari kembali naik ke singgasana
Mencerahkan seluruh perkampungan monyet
Monyet-monyet membuka kedua mata
dengan semangat baru
Sadar akan sesuatu yang berbeda
Mereka terkejut
Puluhan bahkan ratusan manusia
Ada di bawah kampung mereka

Kegelapan seketika menyelimuti
Ketakutan melahap jiwa mereka
Gundah gulana

17 November 2008


NALURI PRAHARA

Sudah jatuh tertimpa tangga
Tepat untuk seorang bapak

Tertusuk belati di dada
Saat mempertahankan
Kediaman yang dirampas
Oleh manusia-manusia
Keturunan Adam
Pengkhianat Muhammad

Tertembus peluru di jantung
Saat menyelamatkan keperawanan putrinya
Dari setan-setan berkulit manusia

Hilang harta benda
Hilang nyawa
Dalam air mata
Tangis dan rintihan
Dalam pelukan
Putri kesayangan

26-11-09


PRET! DUT! CUIH!

Pretdutcuih
dutcuih
cuihslurp
slurperut
perutkos
perutkosong
LAPAR!!!


13 April 2009



AH…BIASA!

Selalu hidup seperti ini
Penuh canda, tawa dan cinta
Tapi Boi…! Itu hanya sementara
Tanah basah menanti di esok hari

13 April 2009


ANTROPOFAGI

Berhamburan hasrat untuk memangsa
Tak dapat dibendung walau sudah terkurung
Dahulu dunia terasa menyakitkan
Sebelum ada manusia untuk dimakan dagingnya

Dagingmu aku makan
Dagingnya juga aku makan
Daging mereka aku kunyah
Dagingku, aku jilati

Penuhnya perut pada semua hipotesa yang ada
Yang pernah diciptakan dari tangan-tangan tak berdaging
Melarikan diri dari kejaran cacing-cacing kuburan saat mati kelak
Nyinyir bersenggama dengan jutaan tahun cahaya
Sok tahu
Mennggambarkan masa depan pada seonggok daging
Yang dikunyah
Diluluhlantakkan
Tak berbekas hilang tak berupa
Punah
Hanya tersisa desis ular yang berkelit dari cengkraman sang elang
Merintih
Lalu terbahak
Dorong semua bentuk segitiga di dalam hidup
Tancap pedang pada gundukkan tanah merah
Sebelum Tuhan menjadikannya manusia
Agar tak merasa sakit pada setiap waktu hidupnya
Sakit dimangsa oleh kaum sendiri
Jenis sendiri
Bangsa sendiri
Diri sendiri
Brutal, mencoba mendobrak pakem yang ada
Berkhianat pada semua wangi hidupnya
Tak terasa bumi tak lagi berputar
Ikut jadi santapan bersama daging-daging manusia

Menjadi santapan Sang Penguasa

Jakarta, 24 12 09


DI ATAS KURSI; DI ATAS PAPAN BERLUBANG

Seonggok sampah terbungkus
Ikatan dasi dan balutan jas
Di atas sebuah kursi
Nyamann lalu tenggelam
Congkak

Pengais sampah
Berjalan tujuh loncatan
Di atas papan kayu berlubang
Bersenang-senang dalam kemiskinan
Congklak

Siapa yang lebih suci?
Yang memakai jas berdasi
Tapi hanyalah sampah
Atau pengumpul sampah
Yang bukan sampah?

Depok, 20-11-09


DIMULAI DENGAN RUANG KELAS, DIAKHIRI OLEH WAKTU

Ruang kelas
Tempat yang sering kali memuliakan
Tempat yang sering kali menghinakan
Surga bagi orang-orang pintar
Neraka bagi kaum pemalas
Kaum yang sama sekali tidak menghendaki perubahan
Kaum yang statis
Yang tidak mengerti apa itu artinya kepandaian
Kepandaian untuk memajukan diri, bangsa, dan negara
Yang sangatlah sulit untuk dimiliki
Tanpa melakukan suatu pengorbanan
Merelakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
Sesuatu yang bernama…


WAKTU!!!


Jakarta, 03 April 2008


GEJOLAK KAWULA TUA

Semakin tua
Semakin tak terbendung birahi
Tak melihat tempat
Tak tahu situasi
Ya mungkin dunia milik mereka berdua sekarang

Dua orang tua dimabuk asmara
Tak jelas status mereka apa
Suami istri
Sepertinya tak mungkin
Tingkah mereka seperti
Remaja yang sedang gemar pacaran
Mungkin perselingkuhan
Yang sekarang sedang berlangsung
Di sampingku

Depok, 16-11-09


GENDUT

Si gendut menjadi saksi
Nikmatnya makanan minuman
Yang tersedia
Di Dunia

Si gendut mandapat sanksi
Dari perbuatannya
Menikmati uang haram
Dengan nafsunya
Yang menjadikannya
Gendut

Depok, 16-11-09


HIDAYAH

Angin tak henti-hentinya berhembus
Membuatku masuk angin
Membeku di dalam pula
Tak terbawa oleh angin
Kugandakan keinginan untuk
Mengoyak semua sisa ketololan
Kembali menuju pencerahan
Saat semua langit mengikuti
Saat semua keindahan menyelimuti
Saat merasakan apa yang orang lain tak rasakan
Saat mataku hanya dapat melihat
Nama-Nya di angkasa

Depok, 24-11-09


HIDUP DALAM AMBISI TANPA JATI DIRI

Aku akan terus berlari
Mengejar semua mimpi yang dicuri
Oleh ketololan yang kubuat sendiri
Tanpa sekalipun menatap matahari

Lembah suram yang sunyi
Menjadi tempat untukku bersembunyi
Dari semua masa laluku
Yang membuat kisahku jadi pilu

Aku ingin menantang guntur
Hingga aku tak sanggup lagi bertahan
Aku ingin menentang Tuhan
Karena jengah terus-menerus diatur

Hatiku slalu berkata
Aku pasti bisa
Menentukan jalan hidup yang merdeka
Dan membuat semua mimpi menjadi nyata

Tabuhan genderang perang
menjadi lukisan dari ambisiku
Untuk mencari semua hal yang kumau
Dalam duniaku yang terang benderang


Depok, 14 Oktober 2009


HINA

Di dunia banyak sekali anjing pengecut
Hanya bisa menggonggong
Dari kejauhan
Tak berani mendekat
Apalagi mengejar
Gugup melihat kekacauan
Tak sanggup menerima tantangan
Takut menghadapi situasi perjudian nyawa

Dalam otaknya
Hanya menginginkan kehidupan enak
Dengan kekuasaan
Keangkuhan jabatan
Duduk goyang-goyang kaki
Sambil makan uang suguhan

Dari anjing besar
Hingga kecil
Pengecut tak ada beda
Berjaga di pos
Terdekap setan malas
Dibelai hangatnya dipan dan selimut
Pulas

Kronis

Depok, 16-11-09


JIN BOTOL

Jin botol membuka botol
Yang ditemukan di pinggir sungai
Manusia keluar dari dalam botol
Menawarkan tiga permintaan
Pasti dikalbulkan
Peran jin botol diambil

Pertama jin botol meminta
Hilangkan segala aturan di dunia

Kedua jin botol meminta
Abadikan nyawanya

Dan yang terakhir ia meminta
Wanita cantik untuk menemaninya

Semua permintaan jin botol
Dikabulkan oleh manusia
Alhasil
Jin botol bebas bersenggama di dunia
Tanpa ada aturan yang melarang
Selamanya…

Depok, 16-11-09


KASIHAN

Ada semut
Terinjak-injak oleh kepongahan
Penguasa lalim nan diktator
Tapi plin-plan
Nyawa melayang
Arwah terpingkal
Melihat kebodohan rakyat yang tunduk
Pada kebodohan penguasa yang bodoh

Depok, 17-11-09


KEBODOHAN ABADI

Aku tak pernah mengerti
Sesuatu di dalam pikiranku
Sesuatu di dalam benakku
Yang selalu senantiasa menjadi hantu
Dalam setiap langkahku
Hingga membuatku terjatuh
Dan dalam seketika aku lumpuh
Sampai akhirnya itu semua membuatku mati

Oh… Sungguh aku tak mengerti
Apakah yang selama ini kuhadapi
Telah sekian lama diriku mencari
Namun tak sedikitpun asa yang terbersit dalam hati
Ku tahu diriku ini
Harus membenci diriku sendiri
Karena selama ini aku tak mengerti
Apa yang seharusnya aku pahami

Memahami tentang semuanya
Seluruh isi dunia yang menjelma
Menjadi teman setia yang tiada tara
Yang sekali pun tak pernah bisa
Menenangkan pikiranku yang berbisa
Mengancam seluruh umat manusia
Menghancurkan seluruh isi dunia
Tak sedikit pun ku iba
Dan tak akan pernah ku jera
Walau sampai akhir masa

Jakarta, 03 April 2008


KECANTIKAN PERAWAN

Hey!
Coba pikirkan
Apa yang aku bayangkan
Tentang itu perawan
Yang cantik rupawan

Hey!
Jangan kau berpikir kotor
Ku hanya kagumi kecantikkannya
Jangan kau berpikir kotor
Ku hanya membayangkan masa depannya

Hey!
Coba pikirkan
Tentang masa depan
Apakah akan membahagiakan
Ataukah hancur karena setan
Yang bernama kecantikkan

Jakarta, 08 Oktober 2007


KENANGAN PENGHORMATAN

Di sini…Siang ini…
Aku berdiri terpaku,
Tak ada seorang pun menemani
Hanya angin yang sangat ramah
Membuatku lupa akan panasnya
Teriok mentari siang ini

Di sini…Siang ini…
Aku berdiri terpaku,
Dengan jantung yang berdebar kencang
Dengan haru yang tak terukur lagi
Dengan tangis yang tak tertahankan

Di sini…Siang ini…
Aku berdiri terpaku,
Di hadapan sebuah patung kokoh
Patung Sang Patriot Ibu Pertiwi
Patung pahlawan proklamator negeri ini


Di sini…Siang ini…
Aku berdiri terpaku,
Terlintas semua jasa-jasanya
Perjuangan, pengorbanan, kesetiaan,
Kecintaan pada tanah air
Semua jasa-jasanya
Berawal tanpa kemuliaan
Diakhiri dengan kemuliaan
Seluruh penghuni negeri
Berhutang budi padanya
Kini,
Meski hanya menatap patungnya
Setiap orang yang mengerti akan jasa-jasanya
Jantung mereka akan berdegup kencang
Aliran darah mereka mengalir deras
Membuat tangan mereka bergerak tanpa disadari
Membentuk suatu gerakan penghormatan
Penghormatan yang abadi


Jakarta, 09 Desember 2007


KIAMAT SUDAH DEKAT

Sampah berserakkan di mana-mana
Mengotori semua yang diperjuangkan oleh nenek moyang
Membantah semua keindahan alam
Menyesakkan nafas para penghuni semesta
Membinasakan seluruh jagad raya

Jakarta, 07 April 2008


MISTERI YANG KUTAHU JAWABANNYA

Orang-orang mengacungkan jempol padanya
Setelah ia berada di bawah
Tertimbun gundukan tanah
Karena misteri yang ia tahu jawabannya

Pria kurus berkumis
Lelah dalam pengejaran
Sebuah fakta yang menyelimuti
Uap panas gunung berapi
Terkepung oleh serigala lapar
Di tengah jalan berliku
Pasrah pada Illahi

Dunia hilang terbang
Melepas tangan dari tanggung jawab
Bergaya seolah tak terjadi apa-apa
Pada elemen terpenting kehidupan
Habis uap menjadi api
Habis api menjadi embun

Embun yang membelaiku tiap pagi
Membuka mataku
Menghangatkanku
Dan membimbingku pada suatu
Kenyataan yang terkekang
Di tepi lembah-lembah kehancuran

Embun yang memohon padaku
Menguak semua segi kehidupan
Dari intaian
Burung-burung pemakan bangkai

Embun yang memohon padaku
Melanjutkan nafas si pria kurus berkumis
Yang terputus diambil iblis

Embun yang membisikkan suatu misteri
Misteri yang kutahu jawabannya

26-11-09





SAPTO HADI WIBOWO

CERPEN: INDAHNYA KEKURANGAN SI JAPRA

Hari-hari terasa begitu indah dilalui oleh Japra. Japra seorang pria berbadan mungil yang sudah berumur 47 tahun. Tinggi badannya tidak mencapai 150 cm dan berat badannya hanya 35 kg. Sejak ia lulus SD (Sekolah Dasar) tinggi badannya tak lagi bertambah. Rambutnya pendek bergelombang. Kulitnya berwarna coklat agak hangus karena pekerjaan sehari-harinya sebagai pembantu pengatur lalu lintas di perempatan jalan. Setiap bekerja pria beranak dua itu selalu memakai baju seragam coklat muda dan bawahan coklat tua, seperti seragam polisi tetapi lebih menyerupai seragam pramuka. Kepala botaknya selalu ia tutupi dengan topi polos yang juga berwarna coklat. Sebuah peluit selalu setia menemaninya bekerja.

SD adalah pendidikan terakhirnya karena setelah ia lulus SD tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya sebagai murid. Selain dari segi fisik yang tidak mampu, kecerdasannya yang kurang juga menjadi penyebab kegagalan itu. Namun itu semua tidak membuat pria mungil itu putus asa untuk melanjutkan hidup. Ia membantu kedua orang tuanya berjualan. Pekerjaan orang tuanya hanyalah penjual kue keliling. Ibunya yang membuat kue dan ayahnya yang berjualan keliling kampung. Setelah kue yang dijualnya laku terjual semua, biasanya ayah Japra melanjutkan pekerjaan tambahan sebagai pembantu pengatur lalu lintas di perempatan jalan dekat rumahnya di kawasan Cijantung. Perempatan yang tidak terlalu luas namun banyak kendaraan yang melintas. Jalan itu sering kali macet apabila tidak ada yang membantu mengatur arus lalu lintas.

Rumah orang tua Japra sangatlah sederhana. Rumah itu berada di dalam sebuah gang kecil yang sempit. Ukuran rumah itu hanya 4 x 4 m. Tembok rumah sudah retak di sana-sini. Catnya pun sudah tidak kelihatan lagi warna aslinya. Genteng selalu bocor ketika musim hujan tiba. Di dalam rumah hanya ada meja makan, kasur, radio, rak piring, dan kompor. Bangku dan meja yang terbuat dari bambu berada di teras rumah yang sempit.

Saat Japra berumur 17 tahun, ibunya meninggal dunia karena sakit. Tak lama setelah itu ayahnya menyusul ibunya. Ayah Japra meninggal karena tertabrak motor saat ia sedang bekerja mengatur lalu lintas. Betapa berat cobaan Japra saat itu. Tiba-tiba saja ia ditinggal oleh kedua orang tua yang sangat disayanginya.

Kini Japra tinggal seorang diri. Ia melanjutkan pekerjaan ayahnya di tempat ayahnya mengatur lalu lintas sekaligus di tempat ayahnya meninggal dunia dulu. Pria asli Betawi ini tak pernah menyerah menghadapi cobaan yang datang menghampirinya. Dengan kondisi fisik yang serba kekurangan ia selalu hidup dengan tersenyum. Sikapnya terhadap orang lain sangat hangat. Ia sering menyapa tetangga-tetangga dan orang yang ia kenal. Kehidupannya selalu penuh dengan tawa, karena ia adalah orang yang pandai sekali melawak. Hal itu jugalah yang membuat Japra mempunyai banyak teman. Bahkan karena kehangatan, keramahan, kebaikan, dan kelucuan yang ia miliki, Japra berhasil mendapatkan sebuah cinta. Cinta dari seorang wanita cantik yang tidak menilai orang dari fisiknya tetapi melihat dari kelembutan hatinya. Wanita itu bernama Aliah. Aliah adalah salah satu tetangga Japra. Awalnya orang tua wanita berkulit hitam manis itu menentang hubungan mereka, tapi lama-kelamaan hati kedua orang tua Aliah luluh melihat cinta anaknya yang begitu besar terhadap Japra. Japra si mungil menikah pada usia 27 tahun sedangkan Aliah pada saat itu berumur 21 tahun.

Kebahagiaan Japra pada saat itu sungguh tak terhingga. Ia yang serba kekurangan mendapatkan berkah yang tak ternilai dari Tuhan. Kebahagiaannya makin bertambah setelah ia mendapatkan dua orang anak kembar dari istri yang sangat dicintainya. Japra memberikan nama Hasan dan Husein pada mereka. Kedua anaknya tumbuh dengan normal, tidak seperti Japra. Anak kembar itu juga mempunyai otak yang sangat cerdas. Hasan sangat pandai matematika, sedangkan Husein sangat ahli di bidang pengetahuan alam. Saat mereka SMP (Sekolah Menengah Pertama) mereka mendapatkan beasiswa. Beasiswa itu mengalir sampai mereka duduk di bangku kuliah. Hasan mendapatkan beasiswa kuliah di Singapur, sedangkan Husein mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia. Hal-hal itulah yang membuat Japra selalu bersyukur tiada henti pada Sang Maha Adil.

Sekarang di usianya yang sudah 47 tahun, Japra melewati hari-harinya yang sangat indah. Kehadiran istri dan anak kembarnya menambah ketenangan hati Japra. Masa depan anaknya sangat cerah. Setelah anaknya berhasil nanti ia sudah tidak perlu lagi bekerja sebagai pembantu pengatur lalu lintas. Ia hanya tinggal merasakan hasil jerih payahnya dalam mendidik dan menghidupi kedua anaknya itu. Bagi Japra, kekurangan bukanlah sesuatu yang menyedihkan dan harus di ratapi, akan tetapi kekurangan adalah jalan untuk selalu berusaha agar hidup untuk menjalani kekurangan itu menjadi indah.

CERPEN: WAKTU CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI

Di pagi yang cerah ini, hatiku sangat bahagia. Sudah lama aku tidak merasakan kebahagiaan yang seperti ini semenjak berpisah dengan Aya, gadis cantik bernama lengkap Nurul Badriah yang lebih senang dipanggil dengan nama panggilan itu. Sambil mengendarai sepeda motor matic, aku melamun.

Saat di SMA (Sekolah Menengah Atas) dulu, aku dan Aya sempat merajut kasih. Lalu pada saat aku lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia, hubungan kami terputus begitu saja.

Kini di masa kuliah, Aya yang dulu adalah adik kelasku di SMA ternyata memilih universitas yang sama denganku. Bukan hanya itu saja, gadis berwajah manis dengan rambut panjang bergelombang itu juga memilih fakultas dan program studi yang sama denganku, yaitu FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Program Studi Sastra Indonesia.

Pertemuan kembali kami di kampus yang sama membuat hatiku bergetar. Hatiku kembali merasakan cinta yang dulu pernah singgah namun terbang entah ke mana. Kini cinta itu bersemi kembali dan aku bertekad untuk mendapatkan cinta itu lagi. Berbagai macam usaha aku lakukan untuk meyakinkan gadis langsing berkulit putih itu. Dan akhirnya, aku berhasil mendapat kepercayaannya lagi dan cinta kami pun bersemi kembali. Banyak orang meyebut kejadian itu CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). Namun bagiku, kejadian itu kusebut NNJKKM (Nyang Namenye Jodo Kagak Ke Mane).

Tersadar dari lamunanku, aku mencaci maki diri sendiri karena sempat-sempatnya melamun saat mengendarai sepeda motor. Untung saja tidak terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan, seperti menabrak trotoar, mobil, sepeda motor lain, dan polisi lalu lintas. Tujuanku dalam perjalanan pagi hari ini adalah rumah perempuan paling baik hati se-dunia. Aku akan menjemputnya untuk pergi ke kampus bersama-sama.

Akhirnya aku sampai di rumah Aya pada 06.30. Rumahnya terletak di daerah Jagakarsa. Rumah itu ada di dalam sebuah gang yang tidak terlalu sempit dan tidak terlalu jauh dari mulut gang. Tempat berlindung dan berteduh itu menghadap ke Timur. Dapat kusimpulkan karena jendela dan pintu utama serta pagar rumah itu menghadap ke arah matahari terbit.

Ku parkirkan sepeda motorku di depan pagar rumahnya. Rumahnya sederhana, tidak mewah tetapi tidak miskin juga. Pagar rumahnya terbuat dari besi yang berbaris dan dari dalam rumah dipasang fiber glass agar pagar itu tak memperlihatkan pemandangan di teras rumah. Pagar itu tingginya 1 m dan berdiri mengelilingi rumah tak bertingkat yang dicat tembok warna merah muda (pink).

Lantai teras rumah itu merupakan susunan yang rapih keramik-keramik berwarna merah tua. Di tengah teras itu terdapat satu set bangku kayu beserta mejanya yang terlihat baru. Satu set bangku tersebut terdiri dari satu buah bangku panjang yang bisa diduduki tiga orang, dan dua bangku kecil untuk satu orang. Bangku-bangku itu masih merapat pada meja. Mungkin karena masih pagi jadi bangku-bangku kayu itu belum disusun sesuai tempat seharusnya. Posisi tersebut tidak memungkinkan bangku-bangku kayu itu untuk diduduki.

Pada bagian pojok kanan teras terdapat sebatang pohon jambu air yang tak terlalu besar. Aku perkirakan pohon itu adalah pohon cangkokan, karena pohon berukuran sedang itu sudah banyak menghasilkan buah jambu air yang bisa dibilang banyak. Pohon itu ditanam di sebuah pot yang lebih meyerupai setengah bagian drum. Di sekitar pohon jambu itu juga terdapat tanaman-tanaman hias seperti anturium Wave Of Love Giant, mawar, anggrek, kamboja kecil, dan lain sebagainya.

Lantai teras rumah Aya terlihat masih berdebu dan terdapat kotoran yang menunjukkan ceplakan ban motor. Mungkin ayah Aya meninggalkan kotoran itu saat memasukkan motornya ke dalam rumah. Kuliahat kotoran itu panjang sampai ke pintu rumah.

Aku mengucap salam dan tak lama kemudian Aya keluar. Dia terlihat cantik pagi hari ini. Pakaiannya terlihat baru. Dia mengenakan kaos biru muda yang dilapisi oleh kardigan hitam. Bawahannya mengenakan celana jins biru tua. Sandal di kakinya juga terlihat baru. Mungkin semua telah ia persiapkan untuk sekarang, hari pertamanya kuliah.

Kami berdua pergi menuju kampus. Di kampus kami kuliah di ruang yang berbeda dan berpisah untuk sementara. Kebetulan pada hari ini aku dan dia selesai kuliah pada waktu yang sama, yaitu pukul 11.45. Setelah itu kami janjian untuk makan siang di kantin. Setelah makan siang kami pulang. Aku mengantarkan Aya ke rumahnya.

Sesampainya di rumah Aya, aku melihat ada banyak perubahan pada teras rumahnya. Satu set bangku beserta mejanya kini tak lagi salig merapat. Bangku-bangku itu kini sedikit merenggang dari meja. Hal itu memudahkan orang yag ingin duduk di bangku itu. Lantai teras pun kini sudah bersih dari debu dan kotoran. Lantai teras itu terlihat bersih seperti habis di pel. Daun-daun jambu air yang tadi pagi berserakan di teras juga sudah tidak ada lagi. Tanaman-tanaman hias juga tampak jauh lebih segar karena telah disiram.

Di pojok kiri teras kini terdapat sebuah jemuran besi lipat yang penuh dengan pakaian. Tadi pagi jemuran itu belum ada, mungkin disimpan di dalam rumah. Pakaian-pakaian pada jemuran itu terlihat sudah agak kering.

Setelah mengantar Aya pulang, aku segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamarku dan melemparkan tas ke samping tempat tidur. Setelah itu aku meloncat ke atas kasur dan tak lama kemudian aku tertidur.

Pada saat aku terlelap, telepon genggamku tiba-tiba saja berbunyi. Aku lagsung terbangun mendengarnya karena bunyi telepon genggamku sudah kuatur dengan volume suara yang paling kencang. Kulihat ke layar alat komunikasi itu. Rupanya panggilan masuk dari Aya. Kuangkat telepon genggamku dengan segera setelah mengetahui itu.

Aya memintaku untuk menemaninya ke toko buku. Aku menyanggupinya karena tak mungkin bagiku untuk menolak keinginan orang yang kucinta. Aku pun bangun dari tempat tidurku lalu menuju kamar mandi untuk buanng air, cuci muka, dan merapikan diri. Saat aku sudah rapi, kulihat jam di dinding rumah. Rupanya sekarang pukul 18.03. Sebelum berangkat ke rumah Aya aku memutuskan untuk solat Maghrib terlebih dahulu.

Pukul 18.30 aku sampai di rumah Aya. Aya pun langsung keluar rumah setelah mendengar bunyi motorku. Ketika hendak pergi, aku menyempatkan untuk memperhatikan teras rumahnya.

Kini teras rumahnya juga menampakkan beberapa perubahan dari tadi siang. Di teras itu kini terdapat sebuah sepeda motor milik ayah Aya. Hal itu menandakan bahwa ayahnya sudah pulang dari tempat kerjanya. Bangku-bangku dan meja juga terlihat sedikit berantakan. Kuperkirakan hal itu terjadi karena ada yang menduduki bagku-bangku tersebut sebelum aku datang. Dan kulihat ada dua cangkir dan satu asbak di atas meja tersebut. Daun-daun jambu air juga sudah mulai berserakan kembali di lantai. Jemuran besi juga sudah tak ada lagi di pojok kiri rumah. Setelah selesai memperhatikan, aku pun pergi bersama Aya menuju toko buku di kawasan Cilandak.

Di toko buku Aya mencari buku untuk kuliah yang dicarinya. Setelah membelinya Aya mengajakku untuk pulang, namun kubilang padanya aku tak mau pulang dulu. Saat itu perutku lapar sekali karena belum sempat makan. Akhirnya aku dan Aya makan malam dulu sebelum pulang di rumah makan Padang di kawasan Kampung Kandang. Setelah selesai makan kami pun pulang. Aku mengantar Aya kembali ke rumahnya.

Kami sampai pukul 20.30. Setelah itu kami duduk-duduk di bangku teras. Saat pukul 21.30 aku pamit pulang pada Aya. Seperti biasa, sebelum pulang aku memperhatikan terlebih dahulu rumahnya.

Kini kotoran bekas ban motor muncul kembali. Bangku-bangku juga sudah rapat kembali dengan meja karena tadi aku sendiri yang mengangkatnya. Lalu hordeng di balik jendela juga sudah tertutup. Lampu teras sudah menyala sejak aku meninggalkan rumahnya tadi sore. Daun-daun jambu juga sudah banyak berserakan di lantai. Setelah puas memperhatikan itu semua aku pun pulang.

Di perjalanan aku tersadar bahwa waktu mempunyai peranan penting dalam dunia ini. Waktu bisa mengubah segalanya. Tempat, kondisi, cuaca, fisik manusia, dan sifat manusia semuanya bisa diubah oleh waktu. Tak ada yang tak dapat diubah oleh waktu. Begitu juga cinta yang dulu pernah hilang kini diubah oleh waktu hingga cinta itu datang kembali.

CERPEN: AKU PACARAN DENGAN HANTU

Lelah begitu menyiksaku malam ini. Seharian aku bekerja. Duduk dan terus berteman dengan radiasi monitor komputer di kantor. Kantor milik perusahaan swasta yang ada di dalam gedung Bidakara, Pancoran. Sekarang saat seharusnya aku pulang, aku malah harus membelikan buku untuk Nia, adikku. Tadi sore adik kesayanganku itu menelepon dan memintaku untuk membelikan buku latihan mengerjakan soal-soal Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA) di toko buku Gaharmedia yang searah dengan rumahku. Toko itu berada di kawasan Pasar Minggu sedangkan rumahku terletak di kawasan Jagakarsa.

Aku selalu mengendarai sepeda motor matic-ku saat pergi bekerja maupun pergi ke tempat lain. Hanya sepeda motor matic yang cocok untuk wanita dengan tinggi 160 cm dan berat 49 kg ini. Aku memiliki badan yang tidak gemuk namun tidak terlalu kurus juga.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Aku masih sibuk mencari buku latihan mengerjakan soal-soal UN yang paling bagus untuk Nia. Bagian buku soal-soal UN berada di lantai dua pojok paling kanan. Kumpulan buku soal itu tidak dipajang di rak seperti buku-buku yang lainnya. Kumpulan buku yang sekarang sedang banyak dicari anak-anak kelas 3 SMA itu dipajang di atas sebuah benda seperti meja yang memiliki ukuran cukup besar. Dikatakan meja tapi benda itu tak memiliki kaki. Lebih mirip dengan level dalam panggung tepatnya. Ukuran benda itu kira-kira 2 x 4 meter. Benda itu berwarna krem. Di atas benda tersebut dipajang buku soal UN yang sangat banyak.

Di pojok itu aku masih sibuk mencari. Hingga tak terasa waktu pada jam tanganku sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku perhatikan sekelilingku. Lantai dua toko buku itu sekarang sudah agak sepi. Kuperkirakan dalam ruangan itu hanya ada sepuluh orang. Di pojok bagian buku-buku soal UN itu, kini hanya aku sendiri. Aku masih tetap mencari buku yang bagus.

Akhirnya aku menemukan buku yang kurasa bagus. Kuteliti dahulu dan kubaca sedikit sebelum membeli. Saat aku sibuk membaca, tiba-tiba saja saat itu aku merasakan ada keanehan. Hawa dingin merasuk. Bulu kudukku berdiri seketika. Kupehatikan kembali ke sekelilingku. Tidak ada apa-apa. Pengunjung toko buku ini kini bertambah banyak. Sekarang ada sekitar dua puluh orang. Aku berpikir mungkin hawa dingin yang kurasakan hanyalah AC ruangan yang dibesarkan oleh pegawai toko buku ini.

Ketika aku mulai terbiasa dengan hawa dingin ini, tiba-tiba saja aku merasakan keanehan yang lain. Aku merasakan hawa dingin tadi berubah menjadi hawa yang agak panas. Bulu kudukku semakin berdiri tegak.

Saat kutengok ke depan dan ke kanan, tak kutemukan adanya sesuatu di dekatku. Namun ketika aku menengok ke kiri, aku melihat sesuatu yang sangat mengejutkanku. Buku yang sedang kupegang seketika terjatuh.

Aku melihat sesosok lelaki yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri sekarang sedang menatapku. Kira-kira jarak antara aku dan dia hanya tiga meter. Jarak sedekat itu membuatku melihat tubuh dan wajahnya dengan jelas.

Kuperhatikan dia dengan seksama. Lelaki itu mempunyai tinggi badan yang sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi namun tidak pendek. Kutaksir tingginya kira-kira 172 cm. Ia mengenakan celana jins hitam dan kaos lengan panjang bergaris berwarna hitam dan abu-abu. Dari tangannya aku bisa melihat warna kulitnya yang sawo matang. Rambutnya pendek dan ditata denngan gaya rambut spike.

Saat kulihat wajahnya lelaki itu ternyata menatapku. Sorot matanya sangat tajam. Jantungku berdegup kencang dibuatnya. Matanya tidak belo tetapi tidak sipit juga. Ia mempunyai tahi lalat diantara kedua alisnya. Hidungnya mancung, namun bukan mancung karena ia keturunan orang luar negri. Ia asli orang Indonesia. Bibir atasnya tipis dan bibir bawahnya agak tebal.

Setelah jelas kuperhatikan, ternyata wajah lelaki itu sangat pucat. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi yang datar. Tetapi itu semua tidak membuat ia kehilangan ketampanannya. Aku terpana menatapnya.

Sadar melihatku terpana menatap dirinya, ia mendekatiku hingga jarak antara kami hanya satu meter saja. Lalu ia menunduk dan mengambilkan buku yang tadi terjatuh dari genggamanku.

Setelah mengambil buku itu, ia menyodorkannya ke arahku sambil tersenyum dan berkata,
“Kenapa dijatuhin bukunya, Ay?”
Aku tersadar dari keterpanaanku karena mendengarnya menyebut nama panggilanku. Namaku Nurul Badriah. Orang-orang biasa memanggilku Aya. Aku tak tahu dari mana ia bisa tahu kalau namaku Aya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah aku mengenalnya dan ia mengenalku?
“Aya, kok diem aja? Kamu benar Aya kan?”
“Eh, iya benar. Iya aku Aya. Kamu kenal aku? Kita kenal di mana ya?”
“Hm, rupanya kamu lupa sama aku ya? Aku Ato. Teman kamu waktu kecil dulu. Masa tidak ingat…”

Aku berpikir sejenak mengingat apakah dulu aku punya teman yang bernama Ato. Akhirnya aku ingat. Dulu rumah kami bersebelahan. Ia sering bermain ke rumahku. Kami teman akrab dulu. Dulu ia seorang anak laki-laki berkulit hitam. Kulitnya hitam karena ia sering bermain layang-layang dan sepak bola. Badannya dekil bukan main. Kurus dan seolah tidak terawat. Badannya juga seringkali mengeluarkan bau, karena ia terlalu aktif dan mudah sekali berkeringat. Hidungnya tidak mancung. Rambutnya selalu berantakan.

Terakhir kali aku melihat dia, ketika menangis merengek-rengek kepada bapaknya pada hari saat ia dan keluarganya hendak pindah rumah. Ia meminta agar tidak pindah rumah, namun tangisan dan rengekannya sia-sia. Keluarganya tetap pindah. Saat itu ia berusia delapan tahun. Aku hanya berbeda satu tahun darinya. Aku berumur tujuh tahun. Ia dan keluarganya pindah ke Bandung.Rata Penuh

Dia kembali menyodorkan buku yang hendak aku beli tadi. Dan aku pun mengambilnya. Lalu aku bilang kepadanya kalau aku ingat dia. Kemudian dia menyodorkan tangannya mengajak aku bersalaman. Aku menyambut sodoran tangannya itu. Ada hal yang aneh ketika aku menjabat tangannya. Tangannya terasa dingin.

Kami berdua berbincang-bincang. Ternyata ia kembali ke Jakarta karena sekarang ia bekerja di sini. Ia bekerja di kawasan kuningan sebagai editor di salah satu perusahaan milik pemerintah.

Agak lama aku berbincang dengannya. Aku perhatikan sekitar. Aku melihat orang-orang menatap ke arahku. Rasa curiga mulai berkumpul di benakku karena pandangan orang-orang itu. Aneh rasanya.

Aku teringat akan keanehan yang tadi juga aku alami. Keanehan wajah Ato yang sangat pucat. Juga keanehan tangannya yang dingin.

Teringat aku akan satu film horor. Dalam film itu setan menyamar jadi manusia dan berjabat tangan dengan orang lain. Kemudian orang itu melihat wajah orang yang mengajaknya berjabat tangan sangat pucat dan tangannya sangat dingin. Terakhir ia mengetahui bahwa orang itu ternyata adalah hantu.

Curiga akan hal seperti itu, aku mulai membatasi diriku dengan Ato. Jantungku semakin berdegup kencang. Keringatku keluar dari kulitku. Aku takut.

Takut sekali.

Melihat aku seperti itu Ato menyadari sesuatu. Ia lalu memohon diri padaku dan memintaku agar tidak pergi ke mana-mana. Ia pergi ke suatu tempat.. Aku seolah tersihir oleh permintaannya. Kakiku tak dapat bergerak sedikitpun. Aku semakin ketakutan. Aku juga tak dapat berteriak meminta pertolongan. Mulutku membisu tiba-tiba. Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini dari gangguan setan yang terkutuk.

Setelah kira-kira lima belas menit Ato kembali ke tempat aku sekarang berada. Dia heran melihatku berkeringat. Dia juga heran melihat wajahku pucat.

Kusadari ada yang berbeda sekarang. Wajah Ato tak lagi pucat. Aku masih saja ketakutan. Saat itu Ato lalu memegang keningku dan bertanya apakah aku sakit. Saat tangannya menyentuh keningku aku merasakan tangannya tak lagi dingin. Sentuhan tangan itu hangat dan sentuhan itu pun yang membuat aku bisa berbicara kembali.

Aku bertanya keepadanya kenapa tadi ia sangat pucat dan tangannya dingin. Aku juga bercerita kepadanya bahwa aku takut kepadanya. Ia tertawa terbahak-bahak. Ia menceritakan bahwa tadi ia sedang berjuang menahan rasa mules karena ingin buang air besar. Saat ia ingin ke toilet ia melihatku. Lalu ia memilih untuk bertemu dan menyapa diriku. Ia bilang, ia takut kalau ke toilet dahulu, aku sudah pergi ketika ia keluar toilet. Oleh karena itu, ia mendahulukan aku dibandingkan rasa mulesnya itu.

Mendengarkan cerita itu, aku jadi sangat malu dan setelah itu aku ikut tertawa. Betapa bodohnya diriku ini. Kami berdua kembali berbincang hingga akhirnya ia meminta nomor hand phone (Hp)-ku. Setelah itu kami pun berpisah di dekat kasir. Aku membayar buku yang hendak kubeli di kasir sedangkan Ato berjalan menuju tangga jalan. Aku kembali memperhatikan sekitar. Orang-orang yang tadi melihat ke arahku kini melihat ke arah Ato.

Sekarang aku baru sadar, ternyata orang-orang yang melihatku tadi hanyalah kaum perempuan saja. Sepertinya mereka terkagum-kagum melihat ketampanan Ato. Rupanya kejadian tadi itu hanya rasa ketakutanku yag berlebihan. Setelah selesai membayar aku pulang.

Dua tahun kemudian Ato melamarku. Aku merasa terkejut, tetapi aku sangat senang. Aku pun menerima lamarannya. Aku menerima lamarannya karena semenjak pertemuan kembali aku dan Ato di toko buku itu, ia selalu memperhatikanku. Ia sering menelponku dan mengajakku bertemu. Kami berdua juga sering bepergian bersama. Kami selalu bersama-sama hingga rasa cinta tumbuh menyatu. Dan akhirnya ia melamarku. Aku perempuan berwajah cantik, berkulit putih dan rambut hitam bergelombang ini menikah dengan pria gagah yang tampan. Ah…sungguh manis sekali rasanya bila dibayangkan. Selain itu juga sungguh sangat lucu. Pacaran dengan orang yang awalnya kukira hantu.

CERPEN: KISAH TRAGIS KELUARGA ANGKUH

Seorang diri duduk di bawah pohon besar yang rindang. Pohon beringin tua yang dipayungi cahaya indah bulan purnama. Aku duduk di atas akar pohon yang memberontak kepada tanah. Bagian akar itu timbul di permukaan tanah dan tanpa disengaja menjadi tempat yang nyaman untuk diduduki. Aku duduk bersila sambil menghisap sebatang rokok. Rokok yang telah aku siapkan sebelum aku datang ke tempat yang sunyi ini.

Tak pernah terpikirkan olehku untuk datang dan berdiam diri di kebun seluas ini. Kebun yang berisi puluhan bahkan ratusan pohon besar. Kebun yang sudah tak terawat sejak zaman penjajahan Belanda berakhir. Tak jauh dari tempatku berdiam diri sekarang terdapat sebuah rumah kosong besar yang tak berpagar. Bangunan tua yang megah itu berlantai dua dan bercat tembok warna putih yang sudah tak tampak lagi kecerahannya. Lumut dan retakan pada tembok hampir mendominasi seluruh bangunan. Jendela-jendela sudah tak mempunyai kaca yang utuh. Kaca pada jendela-jendela itu terkesan hancur pada masanya dahulu karena tindak kekerasan. Pintu rumah itu pun sudah hancur dan tidur di lantai berpuluh-puluh tahun lamanya. Di bagian depan rumah terdapat anak tangga menuju pintu masuk rumah itu. Genting bangunan itu juga sudah banyak yang hancur dan berlubang. Banyak penduduk sekitar yang berkata bahwa rumah itu adalah rumah peninggalan satu keluarga pejabat Belanda yang angkuh dan sangat dibenci oleh warga pribumi. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri, satu anak gadis dan satu bocah laki-laki.

Pada suatu saat warga pribumi tak mampu lagi menahan amarah karena sifat angkuh keluarga itu. Lalu mereka beramai-ramai menyerbu rumah orang Belanda itu. Mereka membuka paksa pintu dengan cara mendobrak, melempari kaca dengan batu, dan menghancurkan semua perabotan yang ada di dalam rumah. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka membunuh semua penghuni rumah. Sungguh sangat tragis nasib keluarga itu.

Malam semakn larut. Bulan purnama semakin terang menyinari bumi. Angin bertiup kencang, membuat pohon-pohon besar bergemuruh seakan para raksasa yang sedang bergumam. Dingin membuat badanku tersiksa. Gangguan nyamuk-nyamuk kebun yang lapar menambah siksaan di badanku ini. Suara burung hantu sesekali terdengar. Malam kian mencekam. Tanpa kusadari kepalaku terasa berat. Bulu kudukku berdiri.

Semula aku berpikir bahwa yang aku rasakan hanyalah pertanda aku ingin buang air kecil. Aku berdiri dari tempatku duduk dan mematikan rokok. Aku berjalan menuju balik pohon, kemudian aku buang air kecil di balik pohon beringin tua itu.

Setelah selesai buang air kecil, aku kembali duduk di atas akar yang tadi aku duduki. Lega rasanya badanku ini. Tapi aku merasa sangat aneh. Berat di kepala dan bulu kuduk yang berdiri ternyata tak juga reda. Malah semakin menjadi-jadi. Kepalaku ini rasanya seperti ada yang mencengkram. Badanku merinding.

Aku melihat jam tanganku. Sekarang sudah pukul 01.25 pagi. Sudah hampir satu jam aku merasakan keanehan ini. Kulempar pandangan ke sekeliling. Aku mencari-cari penyebab terjadinya tanda yang diberikan oleh badanku ini.

Aku terus melihat ke sana-sini. Pandanganku terhenti pada satu titik di balkon lantai dua rumah tua yang tak jauh dari tempatku duduk. Pada titik itu aku terpaku. Aku seperti melihat sosok dua orang yang sedang bergandengan tangan menatap ke arahku. Kedua sosok itu kulihat sudah agak tua. Mereka laki-laki dan wanita berambut pirang. Mereka terus menatapku. Aku berpikir sejenak. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa kedua orang tua itu? Lalu rasa penasaranku membuatku mengabaikan pertanda-pertanda yang tadi diberikan oleh tubuhku. Aku bangkit dari tempat dudukku dan aku berjalan menuju rumah tua itu. Pandanganku tak lepas dari balkon lantai dua tempat mereka berada. Namun, aku merasa sangat aneh. Semakin lama aku mendekat, tubuh mereka semakin buram.

Aku terus mendekat. Lama-lama aku melihat tubuh mereka semakin transparan. Sampai akhirnya hilang begitu saja.

Aku menghentikan langkahku seketika karena melihat mereka meghilang dari pandanganku. Aku bingung akan apa yang aku lihat barusan. Siapa mereka? Sedang apa mereka di sana? Kenapa mereka bisa menghilang? Menghilang? Oh tidak! Aku baru saja tersadar akan kebodohanku. Makhluk yang bisa menghilang seperti itu hanyalah hantu. Aku baru saja melihat hantu!

Terjawab sudah semua pertanda-pertanda yang diberikan oleh tubuhku. Aku masih terpaku berdiri di tempat tadi aku berhenti melihat kedua hantu itu menghilang. Kakiku lemas sekali rasanya. Dengan langkah yang gontai aku kembali menuju tempat semula di mana aku duduk.

Aku masih memikirkan kedua hantu itu. Kenapa mereka menampakkan diri di hadapanku? Aku terus memikirkan tentang hal itu. Karena lelah berpikir, akhirnya tanpa sadar aku melamun.

Dalam lamunanku, aku seakan-akan melihat sebuah tayangan seperti film di televisi. Aku tak tahu bayangan itu muncul dari mana. Bayangan itu muncul begitu saja. Dalam bayangan itu aku melihat ada seorang gadis cantik berkulit putih berambut pirang dan anak laki-laki berkulit putih berambut kecoklatan sedang bermain-main di kebun. Gadis itu mengenakan pakaian terusan berwarna putih hingga ke lutut. Sandal yang digunakannya juga berwarna putih. Sedangkan anak laki-laki itu memakai baju hitam dan celana pendek putih. Aku menebak bahwa mereka adalah adik kakak. Mereka sedang bermain petak umpet. Si adik sedang mendapat giliran jaga dan si kakak sedang mencari tempat bersembunyi.

Ketika mencari tempat persembunyian di dekat rumahnya, gadis itu terkejut melihat rumahnya sedang diserbu dan diporak-poranda oleh banyak orang. Ia juga melihat kedua orang tuanya diseret paksa keluar rumah oleh orang-orang itu. Ia melihat kedua orang tua mereka dipukuli dan disiksa. Tak tahan melihat itu, ia berlari ke depan rumah tempat orang tuanya disiksa dengan maksud menolong mereka. Akan tetapi ia tidak menyangka, ada empat orang pria yang mencegahnya. Empat orang pria itu lalu menyergap dan membawa gadis itu ke kebun. Di dalam kebun empat pria tesebut mencari tempat bersemak. Setelah mereka mendapatkan tempat itu, si gadis lalu diperkosa secara bergiliran. Gadis itu berteriak-teriak, menangis, dan meronta-ronta minta tolong, tetapi tidak ada yang menolongnya. Setelah empat pria itu puas, salah satu dari mereka mencekik gadis cantik itu hingga mati.

Adiknya yang ternyata sejak tadi melihat kakaknya diperkosa, hanya diam terpaku. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ketakutan. Lalu ia bermaksud pergi ke rumah. Namun sebelum sampai di rumah, dari kejauhan ia melihat kedua orang tuanya sudah babak belur. Lalu ia melihat mereka disiram dengan air dan salah satu dari orang-orang yang berkumpul di sana menyalakan korek api dan melemparkannnya ke tubuh kedua orang tuanya. Dalam seketika tubuh kedua orang tuanya diselimuti oleh api yang berkobar-kobar. Ia baru sadar bahwa tadi yang disiramkan ke badan orang tuanya adalah minyak tanah.

Melihat kejadian itu, ia takut bukan kepalang. Ia lalu berlari dari tempat itu. Tak tahu ke mana harus melangkah. Yang ia tahu hanya berlari. Berlari. Dan terus belari. Hingga pada persimpangan jalan raya larinya terhenti. Ia tewas tertabrak mobil yang sedang melaju dengan kencang. Tubuhnya hancur berantakan.

Aku gemetar ketakutan melihat kejadian itu. Karena ketakutanku yang melahap badanku, akhirnya aku tersadar dari lamunanku. Ya ampun, apakah yang baru saja aku lamunkan? Peristiwa apa itu? Sadis. Sambil bertanya-tanya di dalam hati, aku edarkan pandanganku ke sekeliling. Sepi. Di sekitarku masih sepi. Sangat berbeda dengan yang aku lamunkan tadi, ramai dengan orang-orang sadis. Apakah itu hanya halusinasiku saja. Ah, tapi lamunanku itu terasa sungguh nyata.

Aku masih berjibaku dengan pikiran. Tiba-tiba dari belakangku terdengar suara halus namun agak merintih. Suara itu terasa amat dekat dengan telingaku. Melantun dengan berat.

“Bung…apakah kau lihat adikku?”

Aku terkejut bukan main mendengar suara itu. Apalagi setelah mencerna kata-katanya. Aku langsung berdiri, lalu menghadap belakang.

“Haaaaaaa…..!!!”, aku berteriak sejadi-jadinya. Aku sangat ketakutan melihat makhluk yang ada di depanku sekarang. Makhluk itu berjarak sekitar empat meter dariku. Makhluk itu adalah seorang gadis bergaun putih compang-camping ada di hadapanku. Rambut pirangnya panjang terurai. Panjangnya hingga menyentuh tanah. Wajahnya sangat pucat. Matanya berwana putih merata, tidak terlihat adanya bola mata. Lidah gadis itu menjulur panjang keluar hingga hingga sepinggang. Dan tubuh gadis itu seperti melayang. Kakinya tidak menapak di tanah.

Aku terus berteriak sekencang-kencangnya. Namun tak ada satu pun orang yang datang menolongko. Gadis itu terus menatapku dengan tatapan tajam, seolah ingin melahapku. Dia terus bertanya dengan suara yang gontai, di mana adiknya. Namun aku tak mempedulikannya. Aku sangat ketakutan. Sampai-sampai aku terjatuh, tak bisa beranjak sedikitpun dari tempat itu.

Aku terus ketakutan. Gadis itu mendekatiku. Terus mendekat hingga kini hanya berjarak satu meter dari hadapanku. Aku semakin ketakutan. Hinga pada akhirnya aku mengingat suatu pesan dari seseorang yang disampaikan padaku sebelum aku ada di tempat ini. Hanya perintah dalam pesan itulah satu-satunya harapanku sekarang. Aku lalu melakukan perintah itu.

“Mas tolong Mas! Mas…nyerah Mas! Massssss!!!”, aku berteriak sekencang-kencangnya dan melambaikan tanganku pada kamera yang ada tak jauh dari tempatku sekarang. Kamera itu dipasang di tangga depan rumah kosong itu.

Aku terus melambaikan tanganku. Gadis itu terus menatapku dengan tajam. Bahkan lebih tajam. Ia mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Kini jarak wajahnya dengan wajahku hanya tiga puluh sentimeter. Aku semakin berteriak-teriak dengan kencang. Sampai akhirnya aku menengar suara langkah kaki orang oranng yang berlari kje tempatku. Aku lihat ke arah orang-orang itu. Aku lihat orang berbaju hitam dengan kepala yang botak berlari paling depan.

Ketika aku palingkan lagi wajahku ke depan, ke arah gadis seram itu tadi berada, ternyata ia sudah menghilang. Aku menghembuskan nafas panjang dengan lega. Akhirnya aku selamat. Aku lalu tersenyum kecut sebelum merasakan kepalaku tiba-tiba menjadi berat. Sangat berat. Hingga membuat mataku terpejam dan kesadaranku menghilang.

Sesaat sebelum mataku terpejam, aku melihat ada tangan kecil meraba kepalaku. Dari bagian rambut, hingga ke wajahku. Tangan buntung.

CERPEN: HANTU

Malam ini hujan lebat. Angin bertiup kencang. Pepohonan riuh bergoyang. Kilat disertai guntur sering kali muncul. Indahnya malam sudah tak dapat lagi dirasakan. Seorang wanita berteduh di dalam sebuah pos kecil. Tempat yang biasanya dipakai oleh para penjaga malam untuk meronda. Pos yang menghadap ke jalan itu hanya berukuran 2 x 2 m. Pos itu hanya diterangi lampu bohlam bercahaya kuning sehingga membuat tempat itu menjadi remang. Dibelakang pos itu terdapat sungai yang cukup lebar, namun pinggiran sungai itu terlihat sudah agak kering dan berlumpur.

Perempuan cantik berkulit putih dan tinggi semampai itu berdiri di dalam pos. Ia menggigil kedinginan. Kondisi pos itu sungguh memprihatinkan. Atapnya bocor. Niatnya untuk berteduh jadi tidak tersampai dan terkesan sama saja, karena walaupun sudah berteduh, ia masih basah juga. Baju ketat berwarna merah dan rok mini yang juga berwarna merah yang digunakannya kini sudah basah semua. Membuat tubuhnya yang seksi makin terlihat jelas.

Di malam sedingin itu ia hanya memakai pakaian seperti itu. Hal itu membuatnya makin menggigil kedinginan. Kulit telapak tangannya sudah mulai mengkerut dan giginya mulai gemelutuk. Mukanya menjadi pucat. Kakinya juga gemetaran. Ia hanya bisa menunggu dengan pasrah di pos itu sampai hujan reda.

Lama-kelamaan ia mulai terbiasa dengan rasa dingin yang dari tadi menyelimutinya. Pikirannya menerawang. Berkhayal tentang segala mimpi-mimpinya yang belum tercapai. Ia selalu memimpikan mendapatkan seorang kekasih yang baik hati, bertanggung jawab dan mencintai dirinya apa adanya. Karena selama ini, kekasihnya yang sudah-sudah hanya mencintai kecantikan dan tubuhnya saja. Setelah mendapatkan kepuasan atas tubuhnya itu, kekasihnya meninggalkannya. Hal itu terjadi tidak hanya sekali. Ia sudah merasakannya berulang kali.

Dalam lamunannya ia membayangkan mendapatkan seorang kekasih yang sangat mencintainya. Mencintai dirinya dengan apa adanya. Menerima segala kelebihan dan juga kekurangan dirinya. Hubungan mereka berlangsung hingga kejenjang pernikahan.

Di saat ia tengah asik melamun, terdengar suara guntur yang amat keras menggelegar. Membuat ia tersadar dari lamunannya yang begitu indah. Ia kecewa akan hal itu. Setelah itu, tubuhnya kembali merasakan dingin yang amat menyiksa. Tiba-tiba saja ia merasakan suatu keanehan. Bulu kuduknya merinding dengan hebat. Seperti ada yang memegang lehernya dengan kencang.

Pikirannya tertuju pada hal yang bukan-bukan. Badannya semakin merinding. Ia sangat ketakutan. Namun siapa yang bisa menolongnya. Di daerah itu hanya ada dirinya sendiri, tak ada siapa pun lagi. Wajahnya makin bertambah pucat.

Satu jam setelah itu, akhirnya ia melihat ada cahaya seperti cahaya senter mendekat kearahnya. Setelah lebih mendekat, ia melihat ada dua orang yang sedang berjalan dan akan melintasi pos tempatnya berteduh sekarang. Mereka berdua mengenakan jas hujan. Pria berbadan jangkung memegang senter, sedangkan pria yang satu lagi berbadan cebol membawa kentongan. Ia mengambil kesimpulan bahwa mereka berdua adalah petugas penjaga malam.

Si jangkung melihat dirinya. Seketika pria berkumis tebal itu mengarahkan sorotan lampu senternya ke arah pos. Ia melihat ada wanita cantik di sana.

“Bol, lu liat ada cewek cakep dan bohai gak di pos itu?”
“Liat. Kok ada ya cewek cantik malem-malem gini berkeliaran?”
“Pasti dia pelacur bol. Ya udah bol, lu kalo mau balik ya balik duluan aja. Ntar gua nyusul. hahaha”
“Lu mau ngapain?”
“Ya udah ah, nanya mulu lu. Udah pulang duluan aja sana!”
Si jangkung kemudian lebih mendekat lagi ke arah pos. Namun setelah kira-kira hanya berjarak seratus meter, si cebol menghentikan si jangkung.
“Kung, ntar dulu kung. Lu liat dah tuh cewek! Mukanya pucet amat kung.”
“Iya juga. Tapi emang kenapa bol?”
“Jangan-jangan itu bukan orang kung!”
“Setan maksud lu?”
“Iya kung!”
“Mana ada setan cakep begitu! Ngaco aja lo bol! Udahlah lu pulang aja duluan!”
“Ya ada kung. Di film horor aja awalnya cewek cakep, trus gak taunya berubah jadi setan! Kali aja dia gitu juga. Mau lu di cekek setan?”

Mendengar penjelasannya itu si jangkung berhenti sejenak. Merasa dibicarakan yang tidak-tidak perempuan itu tersinggung. Ia ingin sekali protes dan berteriak kepada mereka bahwa ia bukan setan. Namun tenggorokannya tiba-tiba saja tak bisa digunakan. Mulutnya tertutup rapat. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Kemudian ia mencoba untuk mendekati kedua pria tersebut. Ia ingin membuktikan pada mereka bahwa kakinya masih menginjak tanah, dan ia bukanlah hantu seperi yang si cebol katakan.

Melihat perempuan itu mendekat, mereka ternyata sangat ketakutan. Si jangkung mengurungkan niatnya semula untuk mendekati perempuan itu. Mereka berdua kemudian lari terbirit-birit hingga akhirnya menjauh dan meghilang di tikungan yang agak jauh jaraknya dari pos.

Melihat kedua pria tersebut lari terbirit-birit, ia merasa kecewa. Perempuan bernama Siti Fatimah itu heran dan berpikir, apakah wajahnya sekarang amat menakutkan sehingga membuat kedua pria tersebut lari ketakutan. Ia kembali masuk ke dalam pos. Hujan belum juga berhenti. Jam di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 01.00 malam. Setelah kejadian itu, lehernya yang tadi terasa ada yang memegang, kini sudah terasa biasa kembali.

Tak lama setelah itu, dari tikungan tampak seorang perempuan berlari terburu-buru. Mukanya sangat ketakutan. Lama-lama perempuan itu mendekati pos. Ketika sudah agak dekat, Siti Fatimah melihat perempuan itu dan langsung mengenalinya. Ia adalah temannya. Namanya Marmi. Siti Fatimah mencoba untuk memanggil perempuan itu. Kali ini ia berhasil bersuara.

“Mi…Marmi…!”
Perempuan itu menengok dan memperlambat larinya. Kemudian ia berhenti tepat di depan pos.
“Ti…Titi?” Ia bernafas tersengal-sengal sambil bertanya.
Titi. Nama panggilan Siti Fatimah adalah Titi. Sungguh ironis sekali. Nama yang sangat islami kini dipanggil Titi.
“Iya ini aku Titi. Kamu kenapa berlari seperti itu?”
“Kamu kenapa berdiri di tempat itu? Cepat lari Ti! Cepat! Jangan di situ!”
“Memangnya ada apa Mi?”
“Polisi Ti…Polisi. Ada razia!”
“Hah? Razia?”
“Iya Ti. Nanda, Laksmi, Rini, dan Sinta sudah terjaring. Untung saja tadi aku lagi di warung bakso. Jadi polisi-polisi itu tidak menemukan aku. Saat mereka lengah, aku langsung lari diam-diam. Kasihan Sinta, dia anak baru. Kamu sebaiknya cepat lari dari sini. Sepertinya tempat ini akan dilewati polisi-polisi itu.”

Tepat selesai Marmi berbicara, dua cahaya menyilaukan datang dari arah tikungan. Titi terpaku melihat cahaya itu. Setelah tersadar bahwa itu adalah cahaya dari lampu mobil, ia langsung melihat ke arah Marmi. Namun pada saat itu Marmi sudah tidak ada di dekatnya. Marmi sudah lari dan menjauh dari tempat itu. Titi sangat ketakutan akan terjaring razia itu. Ia berpikir dengan cepat bahwa mobil yang mendekati tempatnya sekarang adalah mobil patroli polisi. Ia kemudian keluar dari pos dan dengan cepat melompat ke pinggiran kali. Seketika badannya penuh dengan lumpur. Ia tiarap dan bersembunyi di atas lumpur.

Mobil itu berhenti tepat di depan pos. Titi berusaha mendekat dan melihat apakah itu benar mobil polisi atau bukan. Perlahan-lahan ia merayap dan mendekati pos. Ternyata yang datang bukanlah mobil patroli polisi, melainkan mobil sedan mewah yang terlihat sangat mahal.

Setelah agak lama, pintu mobil terbuka. Keluar seorang laki-laki mengenakan jas hujan sambil menggendong sebuah bungkusan kain berwarna putih. Lalu pintu depan sebelah kiri juga terbuka. Keluarlah seorang wanita yang juga mengenakan jas hujan. Dalam kesimpulan Titi, sepasang orang itu adalah suami istri.

Laki-laki yang membawa bungkusan itu kemudian berjalan ke arah kali. Istrinya mengikuti di belakang. Setelah sampai di tepi kali, laki-laki itu hendak membuang bungkusan kain putih itu, namun istrinya dengan cepat memegang dan mendekap erat tangannya sambil menangis.

“Jangan mas… Jangan!”

Perempuan itu terus merengek sambil menangis meminta bungkusan itu jangan dibuang ke kali. Kemudian laki-laki itu melihat ke arah pos. Ia lalu berjalan ke arah pos. Istrinya mengikuti di belakang. Laki-laki itu masuk ke dalam pos, dan setelah keluar pos, Titi melihat bungkusan yang tadi dibawa laki-laki itu sudah tidak ada. Kemudia suami istri itu masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat itu.

Dengan rasa penasaran yang teramat sangat, Titi bangkit dari tempat persembunyiannya. Badannya kini penuh lumpur. Kemudian ia berjalan menuju pos. Sesampainya di dalam pos ia melihat sebuah bungkusan yang tadi ditinggalkan suami istri itu. Ia berpikir keras apa sebenarnya bungkusan itu.

Setelah jenuh berpikir, ia kemudian mendekati bungkusan kain putih itu. Ia memutuskan untuk meraba-raba bungkusan itu. Apa yang dirasakan indra perabanya membuat ia sangat terkejut. Ia merasakan ada bentuk telinga, hidung dan bibir dalam bungkusan itu. Ia sangat takut pada saat itu. Namun rasa takutnya itu terkalahkan oleh rasa penasarannya.

Ia kemudian membuka bungkusan itu. Sekali lagi ia merasa sangat terkejut. Apa yang dilihatnya kini adalah seorang bayi. Dengan cepat ia mengangkat dan menggendong bayi tersebut. Ia merasakan bahwa bayi tersebut sudah tidak bergerak. Namun ia belum benar-benar tahu apakan bayi itu sudah mati atau masih hidup.

Saat ia ingin memastikan itu, tiba-tiba saja ada suara teriakan dari belakangnya berdiri.

“Jaring!!!”

Kemudian pos yang remang-remang itu kini diterangi oleh lampu-lampu senter yang dibawa oleh polisi-polisi yang kini memenuhi pos tersebut. Titi amat terkejut dan ketakutan melihat polisi patroli ada di tempatnya sekarang. Ia pasrah untuk terkena jaring razia PSK (Pekerja Seks Komersil) malam itu.

Seorang polisi yang paling tegap badannya berkata.

“Apa itu yang ada di dalam bungkusanmu?”
Titi hanya bisa terdiam. Ia sudah tak mampu untuk berkata-kata lagi. Polisi itu kemudian mendekat dan menyorot bungkusan itu.
“Bayi! Bayi! Itu bayi! Mau kau apakan bayi itu hah? Mau kau apakan? Mau kau…….hey ayo jawab!”

Linglung setengah sadar, ia tak mampu lagi berkata. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendekap bayi itu erat-erat. Lalu terasa badan bayi itu dingin sekali.

Hujan kini hanya rintik-rintik. Malam semakin larut dan berkabut.



Sumber : Cerpen dengan judul HANTU pada buku kumpulan karya Mohammad Ali berjudul HITAM ATAS PUTIH terbitan Balai Pustaka tahun 1959 di Jakarta.

CERPEN: SALAM PERKENALAN

Malam ini, akhirnya aku sampai di Ponorogo. Seharian aku duduk dan tidur di mobil. Letih rasanya perjalanan dari Jakarta ke daerah ini. Semula aku tak mau ikut perjalanan ini, namun ayah memaksaku. Dia bilang aku sudah lama tidak mengunjungi kakek dan nenek. Benar juga kata ayahku, terakhir aku bertemu kakek dan nenek, usiaku masih sebelas tahun. Sekarang aku telah berumur dua puluh tahun. Sudah sembilan tahun aku tak berjumpa dengan mereka. Seperti apakah kondisi kakek dan nenekku sekarang? Pertanyaan itu yang akhirnya menyeretku untuk ikut pulang ke kampung halaman ayah.

Ayah seharian mengendarai mobil sedan Timor tahun 2000 berwarna abu-abu metalik. Ia tidak mau aku gantikan posisinya. Ia bilang aku belum mahir menyetir mobil dan belum hafal jalan yang harus dilalui. Akhirnya seharian aku berteman dengan jok belakang mobil. Ibu tertidur lelap di samping ayahku.

Pukul 11.00 malam kami sampai di depan rumah kakek. Ada seorang pemuda menghampiri mobil kami. Setelah mobil benar-benar berhenti, ayah keluar dan berjabat tangan dengan pemuda itu. Kulihat wajah pemuda itu seperti aku kenal. Akan tetapi aku tidak benar-benar yakin apakah aku kenal dia. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju bagasi belakang. Setelah semua tas aku keluarkan, aku berusaha untuk membawanya seorang diri. Akan tetapi aku mengalami kesulitan. Kulihat ayah dan ibu telah menuju rumah kakek. Kakek dan nenek ternyata sudah ada di depan pintu rumah. Mereka langsung menyambut ayah dan ibu.

Aku masih berusaha membawa semua tas ini sendirian. Ada tiga tas ransel dan satu koper. Tiga tas ransel berisi pakaian dan satu koper berisi oleh-oleh dari Jakarta untuk kakek dan nenek serta keluarga di sekitar rumah kakek. Sebelum berangkat aku seorang diri yang mengangkat dan memasukkan semua tas ke dalam bagasi. Semua dapat aku lakukan dengan mudah. Namun sekarang terasa berat sekali. Mungkin karena aku terlalu lelah seharian duduk di dalam mobil.

“Kalau nggak bisa bawa semua minta bantuan dong Rei! Kamu itu, sombong sekali ya sekarang. Turun dari mobil bukannya sapa aku malah langsung ke bagasi, huh! Sini, mari aku bantu!”
Pemuda yang tadi menghampiri mobil kami tiba-tiba menegurku. Badan pemuda itu agak tinggi dan tegap, namun tidak setinggi dan setegap aku. Kuperkirakan tingginya 170 cm, berbeda 5 cm denganku. Wajahnya lonjong dan hidungnya mancung. Rambutnya yang belah pinggir tampak rapih. Kulitnya sawo matang, sama seperti aku. Aku berpikir sejenak mengingat siapa sebenarnya pemuda yang ada di dekatku sekarang. Setelah aku berpikir akhirnya aku ingat siapa dia. Dia adalah sepupu jauhku, Ato. Ayahnya adalah anak dari adik Kakekku. Seingatku, dia tinggal di Bandung, tapi kenapa sekarang ia ada di sini?

“Yah, dia malah diem di situ. Rei, kamu tidak ingat saya?”
“Oh iya. Saya ingat, kamu Ato kan? Ya ampun, hampir aja saya lupa. Wah kamu udah jauh berbeda dari dulu ya!”
“Ah, biasa saja. Kamu itu yang sekarang dah berubah. Bongsor sekali kamu! hahaha. Makin ganteng pula. Rambutmu itu makin nggak nahan, botak kayak Fauzi Badillah!”
“Hahaha, bisa aja si Ato! Jadi mau bawain gak? hahaha.”
“Oke oke! Dasar! hahaha.”

Ato membawakan dua tas ranselku. Setelah menutup bagasi mobil, aku dan Ato berjalan menuju rumah kakek yang jaraknya 100 M dari pagar hidup. Sambil berjalan aku bertanya kepadanya tentang mengapa ia bisa ada di sini. Ia menjawab pertanyaanku itu dengan nada yang terdengar amat berat. Namun sambil tersenyum, ia menjawab pertanyaanku bahwa ia telah dua tahun tinggal di rumah kakek semenjak ayah dan ibunya meninggal dunia. Ia kini hanya seorang diri. Kakek, nenek, ayah, dan ibunya semua sudah meninggal dunia. Ia merupakan anak semata wayang dari keluarganya sama seperti aku. Mendengar jawaban itu aku langsung meminta maaf kepadanya. Aku katakan bahwa aku tak bermaksud membuatnya kembali bersedih. Ia memaklumi dan tetap tersenyum hangat padaku.

Setelah sampai di depan pintu rumah, aku meletakkan tas yang kubawa dan aku langsung bersalaman dengan kakek dan nenek. Di usianya yang sudah enam puluh delapan tahun, badan kakek masih terlihat tegap. Rambutnya yang belah pinggir semua sudah berwarna putih. Kulitnya yang keriput sudah tampak terlihat jelas. Kakek mengenakan kaos oblong berwarna putih polos dan memakai sarung bermotif kotak-kotak berwarna merah dan hitam. Nenek juga masih kelihatan tegap. Usia nenek delapan tahun lebih muda dari usia kakek. Rambut nenek juga sudah mulai putih tetapi masih terlihat warna hitam diantara warna putih itu. Nenek mengenakan baju kebaya biru dan kain sebagai bawahannya.

Kakek dan nenek terkejut melihatku. Kakek bilang dulu aku masih kecil, sekarang sudah sebesar ini. Kakek juga bilang aku gagah. Sedangkan nenek bilang aku itu sekarang ganteng dan manis. Pujian-pujian itu membuat rasa lelahku terobati. Setelah puas berbincang-bincang melepas rindu sejenak antara keluargaku dengan kakek dan nenek, kakek menyuruh kami untuk beristirahat. Kakek menunjukkan kamar ayah dan ibu di samping kamarnya. Sedangkan untukku, kakek menunjuk kamar yang paling pojok belakang dari rumah yang luas ini. Kakek bilang, aku bisa tidur berdua dengan Ato di kamar itu.

Sekarang sudah pukul 01.00 dini hari. Entah kenapa lelah ditubuhku kini tak lagi sehebat tadi. Aku tak bisa memejamkan mataku. Aku tak bisa tidur. Mungkin karena suasana kamar Ato yang masih asing dan aku belum terbiasa tidur di ruangan selain kamarku. Aku dan Ato tidur di diatas sebuah kasur yang agak besar. Kasur terbuat dari kapuk dan berselimut kain batik. Kulihat ke samping kananku. Ato sudah tertidur pulas.

Tiba-tiba aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Aku berniat membangunkan Ato, tetapi aku mengurungkan niatku itu. Aku tidak enak membangunkan Ato yang sudah tidur pulas. Akhirnya aku bangun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Aku ingin mencari kamar kecil seorang diri. Tadi sebelum masuk kamar Ato untuk tidur, kakek memberitahukan aku di mana letak toilet. Toilet terletak di luar rumah, tepatnya di belakang rumah. Berbekal dari informasi itu, aku segera menuju toilet di belakang rumah. Aku berjalan melalui pintu belakang rumah. Setelah ada di luar, aku segera berjalan ke toilet. Jaraknya kira-kira sepuluh meter dari pintu belakang rumah.

Aku tertegun melihat toilet di depanku. Toilet itu tak berpintu, hanya menggunakan kayu triplek sebagai penghalang atau penutup penglihatan dari luar. Triplek itu diangkat atau digeser apabila ingin membuka atau menutupnya. Toilet itu juga tak beratap. Bangunan yang digunakan untuk mandi, cuci dan kakus itu hanya terbuat dari semen yang dijadikan tembok. Tembok itu kira-kira mempunyai tinggi dua meter. Toilet itu hanya diterangi oleh sebuah lampu semprong. Sehingga cahaya yang menerangi ruangan itu tak begitu terang dan terlihat remang-remang. Di dalam toilet berukuran 4 x 3 itu kulihat ada sebuah sumur yang sudah sangat tua, WC (Water Closet) yang terbuat dari semen dan sebuah bak mandi yang juga dibuat dari semen.

Melihat toilet yang seperti itu bulu kudukku langsung berdiri. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Seram sekali toilet rumah kakek. Namun rasa kebelet buang air kecil ini mengalahkan rasa takutku dan tidak memedulikan semua perasaan tidak enak. Aku bergegas masuk ke dalam toilet. Kuangkat triplek yang menjadi pintu toilet, setelah itu kupakai triplek itu untuk menutup toilet. Kemudian, srrrr…

Setelah aku buang air kecil aku hendak kembali ke dalam rumah. Namun tiba-tiba saja aku mendengar suara tabuhan gendang yang sangat menarik. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke balakang, tapi tak aku temukan sumber dari bunyi tersebut. Lalu aku mencoba untuk mempertajam pendengaran, ternyata bunyi tersebut berasal dari belakang toilet.
Rasa penasaran membuat aku berani mencari sumber suara itu. Aku berjalan ke belakang toilet. Kulihat di sana ada lapangan yang luas. Lapangan itu seperti lapangan sepak bola tetapi tidak mempunyai gawang. Lapangan itu sangat luas.

Ada suatu keanehan yang kurasakan pada saat itu. Seingatku sekarang sudah tengah malam, tetapi di lapangan ini cahayanya sangat terang. Kuperhatikan sekitarku berusaha mencari sumber cahaya ini. Tapi aku tak menemukan jawaban dari pertanyaanku. Aku terpaku keheranan.

Saat aku masih sibuk berpikir tiba-tiba saja di lapangan muncul sesosok makhluk tinggi besar. Kepalanya jauh lebih besar daripada badannya. Aku sangat terkejut. Kepala makhluk itu menyerupai singa, namun lebih seram. Taringnya panjang mencuat keluar dari mulutnya. Badannya menyerupai badan manusia. Mengenakan pakaian bergaris vertikal berwarna putih merah. Celananya berwarna hitam dan makhluk tersebut tidak mengenakan alas kaki.

Aku sangat ketakutan melihat makhluk itu. Aku tidak bisa bergerak sama sekali dari tempatku berdiri sekarang. Terpaku begitu saja di pinggir lapangan. Makhluk itu melihat ke arahku. Sorot matanya yang tajam begitu menyeramkan. Kedua kakiku dibuatnya bergetar.

Namun setelah ia menatapku, ia tidak mendekatiku. Ia malah melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Berlari-lari ke sana ke mari tak tentu arah. Sesekali ia melompat dan salto. Setelah aku perhatikan, ternyata gerakan-gerakannya yang aneh itu seirama dengan bunyi tabuhan gendang yang sedari tadi terngiang-ngiang di telingaku.
Rasa takutku perlahan-lahan hilang. Aku menjadi terbiasa dengan makhluk itu. Gerakan-gerakan yang dilakukannya sangat indah. Baru pertama kali aku melihat gerakan yang seperti itu.

Lama sudah aku menyaksikan aksinya. Hingga pada suatu ketika tabuhan gendang itu berhenti tiba-tiba. Makhluk itu juga berhenti melakukan aksinya. Kini ia kembali menatapku. Pandangannya yang tajam kembali membuatku takut. Air liurnya menetes dari mulutnya nafasnya seperti nafas singa yang ingin meburu mangsanya. Aku tersadar bahwa ekspresinya sekarang adalah ekspresi binatang yang sedang lapar. Berpikir tentang itu aku semakin ketakutan.

Ia mendekat kepadaku. Mendekat. Terus mendekat. Hingga jaraknya hanya satu meter di depanku. Wajahnya yang seram kini ada di depan wajahku. Aku masih saja tak bisa bergerak. Ia pasti akan menyerangku. Aku berusaha keras untuk bergerak. Namun tetap tidak bisa. Aku mencoba berteriak, juga tidak bisa. Apa yang harus kulakukan sekarang. Tuhan, apakah aku harus mati hari ini?

Badanku gemetar. Keringat dingin mengucur deras dari setiap pori-pori kulit ini. Makhluk itu masih di depanku. Pikiranku kacau balau. Aku tak dapat lagi berpikir jernih. Semua usaha untuk berteriak dan bergerak telah aku lakukan. Tetapi hasilnya nihil. Aku masih tetap terdiam. Pandanganku tiba-tiba mulai kabur. Kepalaku pusing. Dan tiba-tiba saja aku tak sadarkan diri.
Mati. Aku telah mati.
***

Semula aku berpikiran seperti itu. Tetapi guncangan hebat pada badanku menolong aku dari ketidak-sadaranku. Aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.
“Rei! Bangun Rei! Rei! Sudah pagi. Ayo bangun!”

Kubuka mataku. Kulihat ada Ato di depanku. Aku berkesimpulan bahwa ternyata semalam aku hanya bermimpi. Namun itu hanya kesimpulan sementara. Setelah aku perhatikan sekitar, ternyata aku sedang tergeletak di area pemakaman.

“Hah! Kuburan? Di mana ini Ato?”
“Ini di belakang rumah Kakek. Memangnya kamu belum tahu ya kalau belakang rumah kakek itu tempat pemakaman?”
“Tidak aku tidak tahu. Kenapa aku bisa ada di sini ya? Seingatku semalam aku berada di sebuah lapangan.”
“Hahaha. Kamu pasti semalam bertemu dengan makhluk aneh berkepala singa berbadan manusia ya? hahaha.”
“Hah! Kok kamu tahu? Berarti semalam aku tidak bermimpi ya? Kenapa kamu tertawa?”
“Kamu pasti pingsan karena ketakutankan? Tenang saja Rei. Makhluk itu tidak berbahaya. Dia hanya memberikan salam perkenalan padamu. Memangnya kamu tidak tahu ya itu makhluk apa?”
“Tidak. Aku tidak tahu.”
“Huh! Payah sekali kamu itu. Dasar orang kota! hahaha. Makhluk itu adalah Reog. Reog itu salah satu kesenian khas dari daerah ini, Ponorogo. Wajahnya yang seperti singa itu hanya topeng saja. Dan yang semalam kamu temui itu adalah hantu dari Warok Jolego. Warok adalah sebutan bagi orang yang membawakan Reog. Warok Jolego itu dahulu adalah salah satu orang terpandang yang membesarkan kesenian Reog di daerah Ponorogo. Ia mati pada saat mementaskan Reog. Aku dulu waktu pertama kali pindah ke sini juga mengalami hal yang sama sepertimu. Jadi aku sudah terbiasa akan hal ini. Nah sekarang coba kamu lihat tempat yang kamu tiduri sekarang.”

Mendengar penjelasan dari Ato aku segera paham tentang apa yang menimpa aku semalam. Lalu aku mendengarkan perintah terakhir Ato. Aku bangun dari tempatku tergelatak dan melihat sesuatu yang amat mengejutkanku.

Ternyata semalaman aku tertidur di atas sebuah kuburan. Kuburan dengan nisan bertuliskan “Jolego Bin Suryoprawoto”.

CERPEN: NALURI, AWAL KEHANCURAN PRIA

Aku mempunyai sebuah cerita. Cerita tentang perjalanan hidup seorang laki-laki yang dilahirkan di keluarga yang sangat miskin. Satu keluarga yang tinggal di daerah Manggarai. Ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan dan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara. Ayah dan ibunya sangat sayang padanya karena ia adalah anak yang pintar dan rajin.

Mengetahui penghasilan kedua orang tuanya tidak banyak mencukupi kebutuhan keluarga, ia mencari akal untuk membantu meringankan beban keluarga. Saat itu ia masih kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Setelah pulang sekolah ia berjualan koran untuk mencari uang. Kegiatan itu berlangsung hingga ia berhasil lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mendapatkan beasiswa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kedua orang tuanya makin sayang kepadanya karena anak pertama mereka menjadi orang yang berhasil dan banyak membantu keuangan keluarga.

Setelah lulus kuliah dan berhasil mendapatkan gelar Insinyur, ia pun bekerja pada sebuah perusahaan konstruksi swasta ternama di Jakarta. Kehidupannya mulai banyak berubah pada masa ini. Berbagai proyek telah ia kerjakan dengan baik. Mulai dari rumah, bangunan ibadah, apartemen, hotel dan gedung-gedung pencakar langit di berbagai daerah, semua berhasil dirancang dan dibangunnya dengan baik. Hal ini menyebabkan ia yang masih berumur tiga puluh tahunan menjadi pengusaha muda yang sukses. Uang pun telah banyak ia dapatkan. Ia menjadi seseorang yang kaya raya.

Kedua orang tuanya telah ia berangkatkan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan dirinya. Setelah kembali ke Indonesia, ia memfokuskan dirinya untuk mencari pendamping hidup. Banyak sekali wanita yang tertarik pada dirinya. Seorang pengusaha muda yang kaya raya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah lumayan tampan, dan kulit sawo matang. Semua yang ada pada dirinya membuat wanita tergila-gila.

Akhirnya ia menentukan pilihan pada seorang wanita berumur dua puluh delapan tahun asal Bandung. Wanita ini bernama Sumiati. Sumiati adalah anak orang paling kaya di daerahnya. Wajahnya cantik, tinggi badannya sedang-sedang saja dan kulitnya putih. Mereka menikah di Bandung dan ia menetap di sana bersama istrinya.

Setiap bulan kedua orang tuanya di Manggarai Jakarta selalu mendapatkan kiriman uang darinya. Mereka berpisah sekitar empat tahun. Ia ke Jakarta dan menjumpai kedua orang tua dan adik-adiknya sebulan sekali. Sampai pada suatu saat ia mendapat proyek bekerja di Jakarta dan memutuskan untuk tinggal sementara di Jakarta. Istrinya ia tinggalkan di Bandung untuk sementara waktu. Ia mengunjungi istrinya setiap satu minggu sekali.

Kesuksesan, ketampanan, kekayaan dan karisma yang dimilikinya membuat ia selalu di puja-puja wanita. Hingga pada suatu saat dirinya tergoda oleh seorang wanita berdarah Betawi Arab bernama Nina. Cantik, putih, bersih, tinggi dan langsing. Nina sangat mencintainya, begitu juga dirinya. Awalnya mereka dekat karena alasan bisnis, namun lama kelamaan benih cinta mulai bersemi di antara mereka. Pada akhirnya mereka menikah. Sebenarnya Nina sudah mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya sudah memiliki istri, namun baginya hal itu tak menjadi masalah.

Sumiati yang akhirnya mengetahui hal itu, marah besar. Ia dan suaminya kemudian pisah rumah lalu bercerai. Pada saat itu Sumiati telah mempuyai tiga orang anak. Setelah mereka bercerai, suaminya memutuskan untuk tinggal di Jakarta bersama Nina. Sementara hak asuh anak-anaknya jatuh ditangannya.

Pada suatu waktu, pengusaha kaya itu mendapatkan proyek di Kalimantan. Ia kemudian bekerja di sana selama enam bulan. Ia kembali ke Jakarta sebulan sekali untuk bertemu keluarga dan istrinya. Di Kalimantan lagi-lagi dirinya tergoda pada seorang wanita. Wanita itu bernama Indah. Pada akhirnya ia juga menikahi wanita itu. Setelah menikah, ia membawa istrinya ikut pindah bersamanya ke Jakarta. Di Jakarta Indah dibelikan sebuah apartemen mewah. Sementara Nina belum mengetahui suaminya menikah lagi.

Kemudian ia mendapatkan proyek lagi di Bengkulu. Seperti biasa, ia mendapatkan seorang istri lagi di sana. Perempuan itu bernama Tika. Dirinya kini mempunyai tiga orang istri. Setelah menikah, ia membawa istrinya yang ke-tiga ke Jakarta dan membelikan istrinya itu sebuah rumah di Pondok Indah.

Tika ternyata bukan wanita yang mudah ditipu. Baru seminggu menikah ia sudah berhasil mengetahui bahwa suaminya telah beristri dua. Ia marah besar kemudian mencari tahu alamat apartemen Indah, istri kedua suaminya. Akhirnnya ia menemukan dan sampai di apartemen Indah. Dengan emosi Tika menceritakan kelakuan suaminya yang dianggapnya jahat. Mendengar hal itu Indah merasa sangat dibohongi oleh suaminya yang selalu berkelakuan manis apabila di depannya. Indah terkejut dan sangat sedih. Sedangkan Tika bertambah amarahnya.

Ternyata Tika juga mencari tahu alamat rumah Nina. Setelah mengetahui itu, ia dan Indah pergi ke rumah Nina. Setelah sampai di sana, mereka berdua melihat suaminya ada di sana. Kemarahan pun semakin besar. Keributan lalu muncul di rumah itu. Beribu-ribu cacian keluar dari mulut Tika dan Indah. Air mata menggenangi wajah Nina. Tak kuasa menahan rasa kecewa dan sakit hati yang menerpa. Indah meminta untuk diceraikan, begitu pula Tika. Setelah disetujui oleh sang suami, mereka bercerai. Hanya Nina yang tabah menerima keadaan dan masih setia menemani suaminya. Ia amat mencintai suaminya.

Si suami juga bertambah cinta kepada Nina. Akhirnya ia sadar bahwa ia sudah melakukan hal-hal yang sangat bodoh. Ia sudah berjanji kepada Nina dan juga dirinya sendiri bahwa ia tak akan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mereka berdua pun kini mencoba untuk hidup dengan tenang dan melupakan masa lalu yang amat pahit itu.

Terlalu merasakan sedih yang merobek hati, Indah menjadi dendam kepada mantan suaminya. Masa depan Indah kini hancur. Karena hasutan-hasutan setan yang ada di dalam hatinya yang sedih dan dendam, Indah memutuskan untuk mengguna-guna mantan suaminya. Ia pergi ke tempat seorang dukun. Di sana ia meminta agar mantan suaminya dikenai guna-guna yang mematikan. Ia ingin mantan suaminya hilang dari dunia ini.

Setelah guna-guna itu dikirim, ternyata guna-guna itu meleset. Ninalah yang terkena guna-guna itu, bukan suaminya. Tak lama setelah itu Nina meninggal dunia. Suaminya amat bersedih. Istri yang ia cintai kini telah pergi untuk selama-lamanya. Habislah kini semua cintanya. Istri-istrinya pergi meniggalkannya. Ia sadar, dosa yang telah diperbuatnya amat besar. Kini ia sangat sedih. Untuk melupakan kesedihannya itu yang bisa dilakukannya hanyalah mabuk minuman keras. Setiap hari kerjanya hanya mabuk. Semua pekerjaan ia lalaikan hingga akhirnya ia bangkrut.

Habislah kini semua usaha untuk hidupnya. Dari miskin menjadi kaya dan memiliki segala-galanya, kini mejadi miskin kembali, bahkan lebih miskin. Sekarang yag bisa dilakukannya hanyalah menangis. Ia hanya sesekali tertawa setiap harinya. Ia tertawa hanya pada saat suster rumah sakit jiwa di kawasan Grogol itu datang memberikannya obat untuk diminum. Sungguh malang nasibnya. Nasib pamanku Ir. H. Enda Barkoui.